BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Belakangan ini sastra dianggap kurang penting dan
kurang berperan dalam masyarakat Indonesia hari ini. Hal ini terjadi karena
masyarakat kita saat ini sedang mengarah ke masyarakat industri sehingga
konsep-konsep yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik
dianggap lebih penting dan mendesak untuk digapai. Ulasan ini diharapkan dapat
menggugah kembali kesadaran kita untuk menempatkan pengajaran sastra Indonesia
pada tempat yang layak dan sejajar dengan mata ajar lainnya.
Indonesia, negara yang kaya akan budaya, ternyata menyimpan khasanah sastra
klasik yang sangat beragam. Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki tradisi
sastra baik lisan maupun tulisan. Naskah-naskah sastra klasik Indonesia yang
berasal dari bahasa Melayu, Jawi, Sunda, Batak, Bone, ataupun Makassar dapat
berbentuk puisi lama, syair, pantun, gurindam, karmina, mantra, dan prosa.
Sastra-sastra klasik itu mengandung muatan nilai-nilai budaya dan moral yang
tinggi.
Sebagai
negara yang sarat akan budaya dan tradisi nilai-nilai yang luhur,
memperkenalkan karya-karya sastra klasik merupakan sebuah jembatan pendidikan
moral yang sangat efektif. Kelas bahasa dan sastra, sepatutnya menjadi kelas
yang mampu menciptakan iklim cinta pada budaya bangsa sendiri.
Namun,
seiring derasnya pengaruh negatif budaya negara lain, masyarakat Indonesia
melupakan nilai-nilai luhur budaya bangsa tadi.
Masyarakat
Indonesia kurang mengenal karya sastra miliknya sendiri, yang bersumber dari
tradisi lisan maupun tulis leluhurnya
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang,
maka akan dijelaskan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Sastra
Tradisional
2.
Sastra
Lisan dan Tulisan
3.
Kesusastraan
Melayu
4.
Kesusastraan
Sunda
5.
Kesusastraan
Jawa
6.
Kesusastraan
Bali
7.
Kesusastraan
Sulawesi Selatan
8.
Kesusastraan
Modern Indonesia
9.
Kesusastraan
Indonesia dan Media Massa
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sastra
Tradhisional
Disekitar kehidupan kita banyak
dijumpai berbagai hal seperti adat kebiasaan, konvensi, nilai-nilai, dan
lain-lain, termasuk didalamnya cerita yang telah mewarisi secara turun temurun
yang tidak diketahui secara pasti kapan munculnya hal-hal itu semua. Hal itu
disebabkan berbagai tradsisi tersebut, yang dalam hal ini terutama yang
berwujud cerita da tradsisi bercerita, berlangsung secara alamiah dan lisan
sehingga tidak diketahui pasti angka tahunnya. Berbagai cerita dan kebiasaan
bersastra yang lain yang masih mengandalkan sarana lisan untuk
menyampaikannyakepada orang lain dan antar generasi tersebut kini dikenal
sebagaisastra tradsional.
1.
Hakekat dan karakteristik sastra
tradsional
Sastra tradisional terdiri dari dua
kata yaitu kata sastra dan tradsional. Pengertian dari Sastra itu sendiri
adalah seni yang menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan dalam sastra berbeda
dengan bahasa sehari-hari. Bahasa dalam sastra diolah sedemikian rupa sehingga
menimbulkan nilai-nilai keindahan. Sedangkan tradisional artinya suatu tadisi
atau adat yang diwariskan secara turun temurun (menurut KBBI). Jadi sastra
tradisional adalah karya sastra yang diwariskan secara turun-temurun.
Adapun pengertian sastra tradsisonal
Menurut Mitchell, (2003:228): Sastra tradisional (traditional literature)
merupakan suatu bentuk ekspresi masyarakat pada masa lalu yang umumnya
disampaikan secara lisan. Manusia selalu berkomunikasi dan berekspresi sebagai
salah satu manifestasi eksistensi diri dan kelompok sosialnya. Cerita dan
tradisi bercerita sudah dikenal sejak manusia ada di muka bumi ini, jauh
sebelum mereka mengenal tulisan. Cerita merupakan sarana penting untuk memahami
dunia dan mengekspresikan gagasan, ide-ide dan nilai-nilai. Selain itu sastra
juga sebagai sarana penting untuk memahamkan dunia kepada orang lain, menyimpan
dan mewariskan gagasan dan nilai-nilai dari generasi ke generasi.
Sastra tradisional dikenal di
berbagai belahan dunia, misalnya cerita dari Yunani Klasik, India, Cina, Jepang
dan dari berbagai pelosok tanah air Indonesia. Cerita-cerita tradisional dapat
berwujud legenda, mitos, fable, dan berbagai bentuk cerita rakyat yang lain
yang sering disebut sebagai folklore, folktale atau sebutan-sebutan
kategorisasi lainnya.
Secara umum kesusastraan menurut Stewig (1980:160-1),
dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu
(i)
sastra
rekaan (composed literature) dan
(ii)
sastra
tradisional (traditional literature).
Menurut Mitchell (2003:228)
cerita-cerita tradisional pada umumnya menampilkan tokoh yang bersifat
sederhana dan stereotip yang mempresentasikan kualitas sifat kemanusiaan
tertentu. Dilihat dari segi alur, cerita tradisional pada umumnya bersifat
linear dan hanya menampilkan satu jalinan kisah. Jadi sama halnya dengan
penokohan, pengaluran cerita tradisional juga bersifat sederhana. Selain itu di
sana-sini di sela-sela alur cerita juga lewat karakter tokoh diselipi dengan
pesan-pesan moral dan pandangan tentang kebenaran.
Adapun karakteristik sastra
tradsional antara lain adalah:
a.
Pada
umumnya tidak diketahui pengarangnya karena kemunculannyapun tidak disengaja
dan berlangsung dari waktu kewaktu, dan tidak sekaligus seperti halnya
penulisan sastra dewasa ini
b. Pada umumnya berupa cerita
traditional
c. Sastra traditional merupakan milik
masyarakat.
d. Merupakan sebuah warisan sastra anak
yang berharga dan menjadi dasar pemahaman seluruh kesastraan.
e. Bersifat traditional karena hanya
diwariskan secara lisan, dan bersifat personal karena tiap pencerita memiliki
kebebasan untuk memilih berbagai bentuk kebahasaan sesuai dengan seleranya.
f. Karena hanya diwariskan secara
lisan, sastra tradirional dapat berubah-ubah dalam arti para pencerita yang
dapat kemudian menambah atau mengurangi( dapat karena lupa atau disengaja)
sebagian dari cerita.
g. Menurut mitthcell (2003:228)
cerita-cerita traditional pada umumnya menampilkan tokoh yang bersifat
sederhana san stereotip(flat and stereotypical characters) yang mempersentasikan kualitas sifat
kemanusiaan tertentu.
h. Dilihat dari segi alur cerita
traditional pada umumnya bersifat linear dan hanya menampilkan satu jalinan
kisah.
i.
Pengaluran
cerita traditional bersifat sederhana.
j.
Mencerminkan
kondisi kehidupan sosial budaya masyarakat pendukungnya
k. Cerita traditional hadir untuk memberikan pengajaran sebab masyarakat pada
zaman dahulu menjadikan sarana lisan
yang bergerak dari mulut kemulut merupakan sarana terpenting untuk menyampaikan
sesuatu kepada orang lain.
l.
Cerita
tradisional pada umumnya kurang atau tidak masuk akal, namun begitulah cara
orang dahulu memaknai kehidupan dan dunia.
m. Cerita traditional merupakan akar
dari kata-kata dan dunia kita
2.
Nilai dan fungsi sastra tradisional
Karya sastra yang baik seantiasa
mengandung nilai(value). Nilai itu dikemas dalam wujud struktur jarya sastra,
yang secara implicit terdapat dalam alur, latar, tokoh, tema, dan amanat atau
didalam larik, kuplet, rima dan irama.
Nilai yang terkandung dalam suatu
karya sastra antara lain:
a.
Nilai
hedonik(hedonic value) yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan secara
langsung kepada pembaca atau penikmat sastra.
b. Nilai artistic(artistic value) yaitu
nilai yang dapat memanivestasikan suatu seni atau keterampilan dalam melakukan
suatu pekerjaan.
c. Nilai cultural(cultural value) yaitu
nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu
masyarakat, peradaban, atau kebudayaan.
d. Nilai etis, moral agama(ethical,
moral, religious value) yaitu nilai yang dapat memberikan atau memancarkan
petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral dan agama.
e. Nilai praktis(practical value) yaitu
nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan
nyata sehari-hari.
Sedangkan nilai yang terkandung
dalam karya sastra tradisional itu sendiri antara lain adalah:
a. Memberikan pembelajaran tentang
prinsip-prinsip keadilan dan penilaian moral bagi anak.
b. Merupakkan sesuatu yang paling
berharga dalam jiwa manusia dalam hal ini adalah cerita fantasi
c. Sebagai refleksi kehidupan sosial
budaya masyarakt yang dijadikan latar karya
Karya sastra juga memiliki beberapa
fungsi dalam kehidupan. Dilihat dari fungsi kesastraan bagi kehidupan manusia,
sastra traddisional ( traditional literature) mempunyai fungsi yang tidak
berbeda halnya dengan kesastraan modern.
Fungsi Sastra Tradisional antara
lain adalah:
a.
Memahami
akar eksistensi manusia dan kemanusiaan serta hdup dan kehidupan pada masa lalu
yang menjadi akar kehidupan dewasa ini
b. Sebagai bahan bacaan cerita
Sastra(composed Literature).
c. Memfasilitasi anak untuk memahami
kebesaran dimasa lalu, mengenal dan memahami “nenek moyang” yang menyebabkan
eksistensi kita dimasa kini, dan belajar mengapresiasi warisan leluhur.
3.
Jenis Sastra Tradisional
Dalam dunia kesastraan Indonesia
dikenal adanya penanaman sastra melayu lama yang meujuk kepada berbagai jenis
sastra rakyat yang dihasilkan oleh masyarakat melayu.meurut fang(1976:1)
membedakan sastra rakyat Melayu lama kedalam lima macam yaitu
(i)
cerita
asal-usul,
(ii)
cerita
binatang,
(iii)
cerita
jenaka,
(iv)
cerita
pelipur lara dan
(v)
pantun.
Sastra tradisional terdiri dari
berbagai jenis seperti mitos, legenda, fable, cerita rakyat(folktale,
folklore), nyanyian rakyat dan lain-lain. Pembedaan jenis sastra tradisional
tersebut sebagaimana dikemukakan Mithcell(2003:228) tidak pernah jelas.
Adapun jenis sastra tradisional yang
dikenal di Indonesia yaitu:
a.
MITOS
Mitos adalah satu jenis cerita lama
yang sering dikaitkan dengan dewa-dewa atau kekuatan-kekuatan supranatural yang
lain yang melebihi batas-batas kemampuan manusia. Mitos ada empat yaitu:
1)
Mitos penciptaan
Mitos penciptaan disebut juga mitos
asli yaitu mitos yang menceritakan awal mula kejadian sesuatu.
Contoh: mitos terjadainya gunung merapi, kejadian
binatang tertentu, mitos tentang dewi sri, mitos yang berasal dari malayu
disemenanjung malaya, yaitu cerita yang
menerangkan mengapa ditepi-tepi sungai hutan rimba malaya terdapat
banyak pohon yang tinggi.
2)
Mitos
alam.
Mitos alam adalah cerita yang
menceritakan hal-hal yang bersifat alamiah seperti formasi bumi, pergerakan
matahari dan bumi, perbintangan, perubahan cuaca, karakteristik binatang, dan
lain-lain
3)
Mitos kepahlawanan
Mitos kepahlawanan adalahmitos yang mengisahkan seorang tokoh yang menjadi
pahlawan karena kualifikasi dirinya yang memiliki keajaiban tertentu diluar
nalar kemanusiaan
Contoh: kisah hidup nyai roro kidul
atau ratu laut selatan, mitos sunan lawu dipuncak gunung lawu
4)
Mitos sejarah
Mitos sejarah adalah mitos yang
berhubungan dengan peristiwa sejarah, peristiwa dan tokoh yang benar-benar ada
dan terjadi. Jadiia merupakan gabungan mitos dengan tokoh dan peristiwa sejarah
Contoh: mitos sunan lawu merupakan contoh
mitos kepahlawanan namun bisa juga dikategorikan mitos sejarah karena memiliki
unsur sejarah karena tokoh yang dikisahkan mempunyai kaitan dengan sejarah
b. Legenda
Cerita magis yang sering dikaitkan
dengan tokoh, peristiwa dan tempat-tempat yang nyata.(Mitchell,2003:238).
Jenis legenda:
1) Legenda
tokoh
Cerita legenda yang mengisahkan
ketokohan seorang tokoh
Contoh:
a)
Kiisah
jaka tingkir
b) Legenda pangeran samodra
c) Legenda yang berdasarkan cerita para
wali seperti sunan kalijaga, sunan kudus dan lain-lain
d) Legenda yang berdasarkan kisah raja-raja
2) Legenda
tempat peninggalan
Legenda tempat peninggalan yaitu
Cerita yang berkaitan dengan adanyapeninggalan-peninggalan tertentu dan atau
asal usul terjadinya sesuatu dan penamaan tempat-tempat tertentu.
Contoh:
a)
Asal
usul terjadinya gunung tangkuban prahu
b) Asal usul terjadinya telaga ngebel
3) Legenda
peristiwa
Legenda peristiwa adalah
Peristiwa-peristiwa besar tertentu yang kemudian menjadi legenda karenanya.
Contoh:
a)
Tenggelamnya
kapal pesiar supermewah titanic pada wala abad ke-20
b) Kisah malin kundang dari sumatra
barat
c.
Fable atau cerita binatang
Fable atau cerita binatang adalah
Salah satu bentuk cerita tradisional yang menampilkan bintang sebagai tokoh
cerita
Fabel dibagi dua berdasarkan waktu
kemunculannya
1)
Fabel
klasik, contohnya: cerita jataka dan pancatantra, putri duyung, pangerab angsa
dan lain-lain
2) Fabel moderen contohnya: keledai
yang dungu, gendon kembali kesekolah
d.
Dongeng
Dongeng adalah Salah satu cerita
rakyat yang cukup beragam cakupannya, cerita rekaan yang sebenarnya tidak
pernah terjadi
Dongeng ada dua yaitu dongeng kasik
contohnya bawang merah dan bawang putih, timun emas. Dongeng moderen contohnya
harry potter
e.
Cerita wayang
Sebuah warisan budaya nenek moyang
yang telah bereksistensi sejak zaman prasejarah. Wayang adalah sebuah
wiracarita yang berpakem pada dua karya besar yaitu ramayanan dan mahabrata
Nilai cerita wayang
1)
mencakup
dua aspek yaitu dari unsur-unsur cerita wayang dan aspek pementasan
2) dari unsur cerita wayang dapat
dilihat dari aspek ajaran moral yang dikandung, alur cerita dan karakter tokoh
3) aspek pementasan wayang misalnya yang
menyangkut kelir, gedebok pisang, kotak penyimpanan wayang, lampu blencong,
anak wayang. Semuanya mempunyai simbolis dan filosofi terhadap proses kehidupan manusia.
Pelestarian cerita wayang
1) Dapat diperkenalkan kepada anak-anak
indonesia , salah satunya lewat bacaan sastra, artinya cerita wayang dikemas
ulang kedalam berbagai genre sastra anak umtuk dijadikan sebagai slah satu
bacaan alternatif.
2) Selain penulisan ulang dan
penyediaan buku cerita wayang pelestarian cerita wayang juga daat ditempuh
lewat cara cara tradisonal dan alami misalnhya mengisahkan cerita wayang itu
kepada anak-anak secara lisan
f.
Nyanyian rakyat
Nyanyian rakyat adalah Salah satu
bentuk sasra tradisional yang banyak dikenal dan dinyanyikan hingga kini.
Sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional
Contoh nyanyian rakyat:
1)
Nyanyian
rakyat sunda
2) Nyanyian rakyat bali
3) Nyanyian rakyat bugis
4) Nyanyian rakyat sasak
B.
Sastra Lisan
dan Tulisan
Dalam
khazanah kesusastraan Indonesia terdapat dua penggolongan besar sasta, yaitu sastra
lisan dan sastra tulisan.
Baik
sastra lisan maupun sastra tulisan mempunyai peranan penting dalam sejarah
perkembangan kesusastraan indonesia.
1. Sastra
Lisan
Dalam
khazanah kesusastraan Melayu kuno tradisi sastra lisan baik syair maupun prosa
merupakan kekhasan corak tersendiri yang memiliki relasi lajur sejarah yang
cukup panjang. Satu pengaruh tradisi cina yang masuk melalui jalur perdagangan
kemudian pengaruh India atau Hindu-Budha yang saat itu merupakan agama yang
dianut sebagian besar kerajaan-kerajaan di Indinesia. Ditambah dengan sumbangan
kebudayaan Arab-Islam yang dibawa oleh para musafir. Ketiga tradisi yang
berbeda-beda tersebut tentunya sangat mewarnai sejarah perkembangan sastra di
Indomesia khususnya sastra lisan.
Dalam
perjalanannya sastra lisan menemukan tempat dan bentuknya masing-masing di
tiap-tiap daerah pada ruang etnik dan suku yang mengusung flok budaya dan adat
yang berbeda-beda. Heddy Shri Ahimsya-Putra (1966) mengatakan bahwa sebagai
suatu bentuk ekspresi budaya masyarakat pemiliknya, sastra lisan tidak hanya mengandung
unsur keindahan (estetik) tetapi juga mengandung berbagai informasi nilai-nilai
kebudayaan tradisi yang bersangkutan. Oleh karenanya, sebagai salah satu data
budaya sastra lisan dapat dianggap sebagai pintu untuk memahami salah satu atau
mungkin keseluruhan unsur kebudayaan yang bersangkutan.
Sastra
lisan telah bertahan cukup lama dalam mengiringi sejarah bangsa Indonesia dan
menjadi semacam ekspresi estetik tiap-tiap daerah dan suku yang tersebar di
seluruh nusantara.
Namun,
seiring dengan perkembangan zaman, dalam khazanah kesusastraan modern Indonesia
baik dalam ekspresi proses verbal kesastrawanan maupun dalam kajian, sastra
tulisan lebih mendimonasi. Hal ini mulai berkembang ketika muncul anggapan
bahwa sastra tulis mempunyai nilai yang lebih tinggi dibanding sastra lisan
dalam konteks pembangunan kepribadian bangsa yang lebih maju. Ditambah lagi
oleh arus modernisasi yang masuk dan membawa corak kebudayaan baru, maka posisi
sastra lisan dalam masyarakat mulai pudar bahkan hampir dilupakan.
2. Sastra
Tulisan
Sastra
tulisan (written literature)yaitu sastra yang menggunakan media tulisan
atau literal. Menurut Sulastin Sutrisno (1985) awal sejarah sastra tulis melayu
bisa dirunut sejak abad ke-7 M. Berdasarkan penemuan prasasti bertuliskan huruf
Pallawa peninggalan kerajaan Sriwijawa di Kedukan Bukit (683) Talang Tuo (684)
Kota Kapur (686) dan Karang Berahi (686). Walaupun tulisan pada
prasasti-prasati tersebut masih pendek-pendek, tetapi prasasti-prasasti yang
merupakan benda peninggalan sejarah itu dapat disebut sebagai cikal bakal
lahirnya tradisi menulis atau sebuah bahasa yang dituangkan dalam bentuk
tulisan.
Sastra
tulis dianggap sebagai ciri sastra modern karena bahasa tulisan dianggap
sebagai refleksi peradaban masyarakat yang lebih maju. Menurut Ayu Sutarto
(2004) dan Daniel Dakhidae (1996) tradisi sastra lisan menjadi penghambat bagi
kemajuan bangsa. Maka, tradisi lisan harus diubah menjadi tradisi menulis.
Karena budaya tulis-menulis selalu identik dengan kemajuan peradaban keilmuan.
Pendapat ini mungkin tidak keliru. Tapi, bukan berarti kita dengan begitu saja
mengabaikan atau bahkan meninggalkan tradisi sastra lisan yang sudah mengakar
dan menjadi identitas kultural masing-masing suku dan daerah di seluruh
kepulauan Indonesia.
Pada
akhirnya, proses pergeseran dari tradisi sastra lisan menuju sastra tulisan
tidak dapat dihindari. Karena sadar atau tidak, bagaimanapun proses pertumbuhan
sastra akan mengarah dan berusaha menemukan bentuk yang kebih maju dan lebih
sempurna sebagaimana terjadi pada bidang yang lainnya. Karena proses perubahan
seperti ini merupakan sebuah keniscayaan terutama dalam struktur masyarakat
yang dinamis.
Belum
ditemukan data yang pasti, yang menunjukan kapan tepatnya tradisi sastra tulis
dimulai. Sastra tulis yang tercarat dalam sejarah kesusastraan Indonesia
mungkin bisa dikatakan dimulai sejak sebelum abad ke-20, yaitu pada periode
Pujangga Lama. Dan, kemudian mulai menunjukan wujudnya yang lebih nyata pada
periode Balai Pustaka yang bisa disebut sebagai tonggak perkembangan sejarah
kesusastraan modern Indonesia. Dimana dengan lahirnya penerbit pertama di
Indonesia ini, bidang kesusastraan mulai dikembangkan secara lebih
terorganisir. Dan, pada periode berikutnya, terus berkembang secara lebih luas.
3. Kedudukan
Sastra Lisan dan Sastra Tulisan
Sejatinya
baik sastra lisan maupun tulisan masing-masing mempunyai kedudukan yang
sama-sama penting dalam perkembangan sastra di Indonesia. Walaupun pada
kenyataannya sastra lisan sering kali dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembanfan
zaman. Tapi, seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa sastra lisan
mempunyai akar yang berkaitan erat dengan sejarah bangsa Indonedia baik aspek
sosio-kultural, moral, religi hingga aspek politik.
Jadi,
pada dasarnya dua bentuk sastra ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain
sebagaimana dalam konsepsi A. Theeuw (1983) bahwa dari segi sejarah maupun
tipologi adalah tidak baik jika dilakukan pemisahan antara sastra lisan dan
sastra tulis. Keduanya harus dipandang sebagai kesatuan dan keseluruhan
sehingga tidak boleh lebih mengutamakan satu dari pada yang lain. Sebaliknya,
dua jenis karya sastra ini seyogianya saling mendukung dan melengkapi untuk
lebih memperkaya khazanah kesusastraan bangsa. Karena pada hakikatnya sastra
lisan merupakan sumber utama bagi penciptaan sastra tulisan sebagaimana sastra
lama merupakan penunjang lahirnya sastra modern.
C. Kesusasteraan
Sunda
Budaya
Sunda adalah budaya yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat Sunda.
Budaya Sunda dikenal dengan budaya yang sangat menjunjung tinggi sopan santun.
Pada umumnya karakter masyarakat Sunda adalah periang, ramah-tamah (someah),
murah senyum, lemah-lembut, dan sangat menghormati orangtua.
Itulah cermin budaya masyarakat Sunda. Di dalam bahasa Sunda
diajarkan bagaimana menggunakan bahasa halus untuk berbicara dengan orang yang
lebih tua.
1. Etos
budaya
Kebudayaan
Sunda termasuk salah satu kebudayaan tertua di Nusantara.
Kebudayaan Sunda yang ideal kemudian sering kali dikaitkan sebagai kebudayaan
masa Kerajaan Sunda. Ada beberapa ajaran
dalam budaya Sunda tentang jalan menuju keutamaan hidup. Etos dan watak Sunda
itu adalah cageur, bageur, singer dan pinter, yang dapat diartikan
"sembuh" (waras), baik, sehat (kuat), dan cerdas. Kebudayaan Sunda
juga merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa
Indonesia yang dalam perkembangannya perlu di lestarikan. Sistem kepercayaan
spiritual tradisional Sunda adalah Sunda Wiwitan
yang mengajarkan keselarasan hidup dengan alam. Kini, hampir sebagian besar
masyarakat Sunda beragama Islam,
namun ada beberapa yang tidak beragama Islam, walaupun berbeda namun pada
dasarnya seluruh kehidupan di tujukan untuk kebaikan di alam semesta.
2. Nilai-nilai
budaya
Kebudayaan
Sunda memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dari kebudayaan–kebudayaan
lain. Secara umum masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda, dikenal sebagai
masyarakat yang lembut, religius, dan sangat spiritual. Kecenderungan ini
tampak sebagaimana dalam pameo silih asih, silih asah dan silih asuh; saling
mengasihi (mengutamakan sifat welas asih), saling menyempurnakan atau
memperbaiki diri (melalui pendidikan dan berbagi ilmu), dan saling melindungi
(saling menjaga keselamatan). Selain itu Sunda juga memiliki sejumlah
nilai-nilai lain seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, hormat kepada
yang lebih tua, dan menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada kebudayaan Sunda
keseimbangan magis di pertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara adat
sedangkan keseimbangan sosial masyarakat Sunda melakukan gotong-royong untuk
mempertahankannya.
3. Kebudayaan Suku Sunda
Kebudayaan Sunda merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber
kekayaan bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu
dilestarikan. Kebudayaan-kebudayaan tersebut akan dijabarkan sebagai berikut :
a. Sistem Kepercayaan
Hampir semua orang Sunda beragama Islam. Hanya sebagian kecil yang
tidak beragama Islam, diantaranya orang-orang Baduy yang tinggal di
Banten Tetapi juga adayang beragama Katolik, Kristen, Hindu, Budha.Selatan.
Praktek-praktek sinkretisme danmistik masih dilakukan. Pada dasarnya seluruh
kehidupan orang Sunda ditujukan untuk memelihara keseimbangan alam
semesta.Keseimbangan magis dipertahankan dengan upacara-upacara adat, sedangkankeseimbangan
sosial dipertahankan dengan kegiatan saling memberi (gotong royong).Hal yang
menarik dalam kepercayaan Sunda, adalah lakon pantun Lutung Kasarung,salah satu
tokoh budaya mereka, yang percaya adanya Allah yang Tunggal (GuriangTunggal)
yang menitiskan sebagian kecil diriNya ke dalam dunia untuk memeliharakehidupan
manusia (titisan Allah ini disebut Dewata). Ini mungkin bisa menjadi
jembatanuntuk mengkomunikasikan Kabar Baik kepada mereka.
b. Mata Pencaharian
Suku Sunda umumnya hidup bercocok tanam. Kebanyakan tidak suka merantau
atauhidup berpisah dengan orang-orang sekerabatnya. Kebutuhan orang Sunda
terutamaadalah hal meningkatkan taraf hidup. Menurut data dari Bappenas
(kliping Desember 1993) di Jawa Barat terdapat 75% desa miskin. Secara
umum kemiskinan di Jawa Baratdisebabkan oleh kelangkaan sumber daya manusia.
Maka yang dibutuhkan adalah pengembangan sumber daya manusia yang berupa
pendidikan, pembinaan, dll.
c. Kesenian Kirab Helaran
Kirab helaran atau yang disebut sisingaan adalah suatu jenis kesenian
tradisional atauseni pertunjukan rakyat yang dilakukan dengan arak-arakan dalam
bentuk helaran.Pertunjukannya biasa ditampilkan pada acara khitanan atau
acara-acara khusus seperti ;menyambut tamu, hiburan peresmian, kegiatan HUT
Kemerdekaan RI dan kegiatan hari-hari besar lainnya. Seperti yang diikuti
ratusan orang dari perwakilan seluruh kelurahandi Cimahi, yang berupa
arak-arakan yang pernah digelar pada saat Hari Jadi ke-6 KotaCimahi. Kirap ini
yang bertolak dari Alun-alun Kota Cimahi menuju kawasanperkantoran Pemkot
Cimahi, Jln. Rd. Demang Hardjakusumah itu, diikuti olehkelompok-kelompok
masyarakat yang menyajikan seni budaya Sunda, seperti sisingaan,gotong gagak,
kendang rampak, calung, engrang, reog, barongsai, dan klub motor.
d. Wayang Golek
Jepang boleh terkenal dengan 'Boneka Jepangnya', maka tanah Sunda terkenal
dengankesenian Wayang Golek-nya. Wayang Golek adalah pementasan sandiwara
boneka yangterbuat dari kayu dan dimainkan oleh seorang sutradara merangkap
pengisi suara yangdisebut Dalang. Seorang Dalang memiliki keahlian dalam
menirukan berbagai suaramanusia. Seperti halnya Jaipong, pementasan Wayang
Golek diiringi musik Degunglengkap dengan Sindennya. Wayang Golek biasanya dipentaskan
pada acara hiburan, pesta pernikahan atau acara lainnya. Waktu
pementasannya pun unik, yaitu pada malamhari (biasanya semalam suntuk) dimulai
sekitar pukul 20.00 - 21.00 hingga pukul 04.00 pagi. Cerita yang dibawakan
berkisar pada pergulatan antara kebaikan dan kejahatan(tokoh baik melawan tokoh
jahat). Ceritanya banyak diilhami oleh budaya Hindu dariIndia, seperti Ramayana
atau Perang Baratayudha. Tokoh-tokoh dalam cerita mengambilnama-nama dari tanah
India.Dalam Wayang Golek, ada 'tokoh' yang sangat dinantikan pementasannya
yaitu kelompok yang dinamakan Purnakawan, seperti Dawala dan Cepot.Tokoh-tokoh
ini digemari karena mereka merupakan tokoh yang selalu memerankan peran
lucu (seperti pelawak) dan sering memancing gelak tawa penonton. SeorangDalang
yang pintar akan memainkan tokoh tersebut dengan variasi yang sangat menarik.
e. Alat Musik
Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe dari angklung.
Berbedadengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh
calung adalahdengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung
bambu) yang tersusunmenurut titi laras (tangga nada) pentatonik
(da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari
awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yangdibuat dari awi temen (bambu yang
berwarna putih).
Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari bambu
khusus yangditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938. Ketika awal
penggunaannyaangklung masih sebatas kepentingan kesenian local atau
tradisional.
4.
Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh suku ini adalah bahasa Sunda. Bahasa Sunda
adalah bahasayang diciptakan dan digunakan sebagai alat komunikasi oleh Suku
Sunda, dan sebagaialat pengembang serta pendukung kebudayaan Sunda itu sendiri.
Selain itu bahasa Sundamerupakan bagian dari budaya yang memberi karakter yang
khas sebagai identitas SukuSunda yang merupakan salah satu Suku dari beberapa
Suku yang ada di Indonesia.ILMU
5.
Pengetahuan Dan Teknologi
Masalah pendidikan dan teknologi di dalam masyarakat suku Sunda sudah
bisadibilang berkembang baik.Ini terlihat dari peran dari pemerintah Jawa
Barat. PemerintahJawa Barat memiliki tugas dalam memberikan pelayanan
pembangunan pendidikan bagiwarganya, sebagai hak warga yang harus dipenuhi
dalam pelayanan pemerintahan. VisiPemerintah Jawa Barat, yakni "Dengan
Iman dan Takwa Jawa Barat sebagai ProvinsiTermaju di Indonesia dan Mitra
Terdepan Ibukota Negara Tahun 2010" merupakankehendak, harapan, komitmen
yang menjadi arah kolektif pemerintah bersama seluruhwarga Jawa Barat dalam
mencapai tujuan pembangunannya.Pembangunan pendidikan merupakan salah satu
bagian yang sangat vital danfundamental untuk mendukung upaya-upaya pembangunan
Jawa Barat di bidang lainnya.Pembangunan pendidikan merupakan dasar bagi
pembangunan lainnya, mengingat secarahakiki upaya pembangunan pendidikan adalah
membangun potensi manusia yang kelak akan menjadi pelaku pembangunan.Dalam
setiap upaya pembangunan, maka penting untuk senantiasa mempertimbangkankarakteristik
dan potensi setempat. Dalam konteks ini, masyarakat Jawa Barat yangmayoritas
suku Sunda memiliki potensi, budaya dan karakteristik tersendiri.
Secarasosiologis-antropologis, falsafah kehidupan masyarakat Jawa Barat yang
telah diakuimemiliki makna mendalam adalah cageur, bageur, bener, pinter, tur
singer. Dalam kaitanini, filosofi tersebut harus dijadikan pedoman dalam
mengimplementasikan setiaprencana pembangunan, termasuk di bidang pendidikan.
Cageur mengandung makna sehat jasmani dan rohani. Bageur berperilaku baik,
sopan santun, ramah, bertata krama. Bener
UPACARA ADAT
PERKAWINAN SUKU SUNDA
Adat Sunda merupakan salah satu pilihan calon mempelai yang ingin merayakan
pesta pernikahannya. Khususnya mempelai yang berasal dari Sunda. Adapun
rangkaianacaranya dapat dilihat berikut ini. Nendeun Omong, yaitu
pembicaraan orang tua atau utusan pihak pria yang berminatmempersunting seorang
gadis.Lamaran. Dilaksanakan orang tua calon pengantin beserta keluarga dekat.
Disertaiseseorang berusia lanjut sebagai pemimpin upacara. Bawa lamareun atau
sirih pinangkomplit, uang, seperangkat pakaian wanita sebagai pameungkeut
(pengikat). Cincin tidak mutlak harus dibawa. Jika dibawa, bisanya berupa
cincing meneng, melambangkankemantapan dan keabadian.Tunangan. Dilakukan ‘patuker
beubeur tameuh’, yaitu penyerahan ikat pinggang warna pelangi atau polos
kepada si gadis.Seserahan (3 - 7 hari sebelum pernikahan). Calon pengantin pria
membawa uang, pakaian, perabot rumah tangga, perabot dapur, makanan, dan
lain-lain. Ngeuyeuk seureuh (opsional, Jika ngeuyeuk seureuh tidak
dilakukan, maka seserahandilaksanakan sesaat sebelum akad nikah.)Dipimpin
pengeuyeuk.Pengeuyek mewejang kedua calon pengantin agar meminta ijin dan doa
restu kepadakedua orang tua serta memberikan nasehat melalui lambang-lambang
atau benda yangdisediakan berupa parawanten, pangradinan dan
sebagainya.Diiringi lagu kidung oleh pangeuyeuk Disawer beras, agar hidup
sejahtera.dikeprak dengan sapu lidi disertai nasehat agar memupuk kasih sayang
dan giat bekerja.Membuka kain putih penutup pengeuyeuk. Melambangkan rumah
tangga yang akandibina masih bersih dan belum ternoda.Membelah mayang jambe dan
buah pinang (oleh calon pengantin pria). Bermakna agar keduanya saling
mengasihi dan dapat menyesuaikan diri.Menumbukkan alu ke dalam lumpang sebanyak
tiga kali (oleh calon pengantin pria).Membuat lungkun. Dua lembar sirih
bertangkai saling dihadapkan. Digulung menjadisatu memanjang. Diikat dengan
benang kanteh. Diikuti kedua orang tua dan para tamuyang hadir. Maknanya, agar
kelak rejeki yang diperoleh bila berlebihan dapat dibagikankepada saudara dan
handai taulan.Berebut uang di bawah tikar sambil disawer. Melambangkan berlomba
mencari rejeki dandisayang keluarga.Upacara Prosesi PernikahanPenjemputan calon
pengantin pria, oleh utusan dari pihak wanita
Ngabageakeun, ibu calon pengantin wanita menyambut dengan pengalungan
bungamelati kepada calon pengantin pria, kemudian diapit oleh kedua orang tua
calon pengantin wanita untuk masuk menuju pelaminan.Akad nikah, petugas
KUA, para saksi, pengantin pria sudah berada di tempat nikah.Kedua orang tua
menjemput pengantin wanita dari kamar, lalu didudukkan di sebelah
kiri pengantin pria dan dikerudungi dengan tiung panjang, yang berarti
penyatuan dua insanyang masih murni. Kerudung baru dibuka saat kedua mempelai
akan menandatanganisurat nikah.Sungkeman,Wejangan, oleh ayah pengantin wanita
atau keluarganya.Saweran, kedua pengantin didudukkan di kursi. Sambil
penyaweran, pantun sawer dinyanyikan. Pantun berisi petuah utusan orang
tua pengantin wanita. Kedua pengantindipayungi payung besar diselingi taburan
beras kuning atau kunyit ke atas payung.Meuleum harupat, pengantin wanita
menyalakan harupat dengan lilin. Harupat disiram pengantin wanita dengan
kendi air. Lantas harupat dipatahkan pengantin pria. Nincak endog,
pengantin pria menginjak telur dan elekan sampai pecah. Lantas kakinyadicuci
dengan air bunga dan dilap pengantin wanita.Buka pintu. Diawali mengetuk pintu
tiga kali. Diadakan tanya jawab dengan pantun bersahutan dari dalam dan
luar pintu rumah. Setelah kalimat syahadat dibacakan, pintudibuka. Pengantin
masuk menuju pela.
D.
Kesusastraan Jawa
Sastra Jawa merupakan satu di antara sekian
banyak kebudayaan yang ada di Indonesia. Sastra Jawapun berbentuk macam-macam.
Ada sastra Jawa modern dan ada sastra Jawa Klasik. Sastra Jawa Klasik biasanya
menaruh kekuatan keindahannya pada bentuk dan amanat. Sastra Jawa Klasik
dibedakan menjadi beberapa bagian, yakni prosa dan puisi.
Namun, karena pada zaman dahulu tidak semua
masyarakat Jawa bisa membaca dan menulis, maka sastra Jawa klasik ini lebih
cenderung disebarluaskan secara lisan. Sastra jawa yang berbentuk lisan itu
sebenarnya adalah prosa yang kemudian diceritakan dalam bentuk dongeng,
legenda, atau pepatah. Sementara itu, sastra Jawa yang berbentuk puisi lebih
sering dilisankan dalam bentuk pantun Jawa.
Sama halnya dengan di daerah-daerah lainnya,
sastra Jawa pun memiliki nilai budaya tersendiri yang mengusung nilai-nilai
budaya Jawa. Legenda dan dongeng yang berasal dari tanah Jawa ini dikemas dalam
bahasa Jawa, dengan memasukkan unsure-unsur budaya Jawa yang kental.
Sementara itu, sastra Jawa modern merupakan
sastra yang hamper sama dengan sastra kotemporer, yakni sastra yang mengusung
kisah-kisah modern. Akan tetapi, dalam penyajiannya, tetap menggunakan bahasa
jawa serta tetap memasukkan nilai-nilai budaya Jawa yang memang harus
dipertahankan.
Macam-macam Bentuk Sastra Jawa Klasik
Sastra Jawa Klasik
memiliki bermacam-macam bentuk, dari mulai dongeng, legenda, mitos, sampai
pantun Jawa. Dongeng sendiri merupakan cerita yang tidak benar-benar terjadi,
terutama mengenai kejadian pada zaman dahulu kala.
Dongeng sastra Jawa dibuat
dengan tujuan tertentu, yakni memberikan nilai-nilai pelajaran mengenai
kehidupan terhadap masyarakat. Karena pada zaman dahulu belum ada media yang
tepat untuk menjadi media pembelajaran, maka dongeng sastra Jawa inilah yang
dijadikan salah satu modus pembelajaran masyarakat pada zaman dahulu, terutama
pada anak-anak.
Bentuk sastra Jawa selanjutnya
adalah legenda. Legenda adalah cerita rakyat pada zaman dahulu yang berhubungan
dengan suatu daerah dan merupakan sejarah yang dianggap suci oleh masyarakat
setempat, seperti legenda “Banyuwangi” yang bercerita tentang asal-usul kota
Banyuwangi.
Pada zaman dahulu. Sastra jawa
Klasik ini dianggap sebagai suatu cara agar masyarakat setempat menghargai alam
dan tempat mereka tinggal sehingga muncullah cerita-cerita berbentuk legenda.
Bentuk Sastra jawa mitos
juga hamper mirip dengan legenda. Mitos merupakan cerita mengenai dewa-dewa
atau hal yang dianggap agung oleh masyarakat setempat karena mengandung
kekuatan gaib. Hanya saja, kebenaran mitos tidak pasti sehingga masyarakat
modern meragukan kebenaran mitos Jawa yang dianggap mengada-ada.
Hingga sekarang semua
bentuk sastra Jawa Klasik tersebut masih
ada. Namun, keberadaannya hanya bisa ditemui di buku-buku klasik atau pada
masyarakat yang masih menjunjung tinggi adat-istiadat.
Pada dasarnya, semua
bentuk sastra Jawa tersebut tidak terlepas dari pengaruh budaya luar Jawa.
Misalnya, budaya Hindu yang membawa pengaruh terhadap terciptanya mitos “dewi
padi” sehingga ,masyarakat Jawa apercaya bahwa kemakmuran yang mereka dapat
tidak bisa dipisahkan dari keagungan dan kebaikan hati Dewi Padi dalam
memberikan pemenuhan kebutuhan akan pangan masyarakat Jawa.
Akan tetapi, dibalik
bentuk sastra jawa yang bermacam-macam itu, tersimpan satu visi dan misi yang
sama akan besar dan pentingnya nilai budaya Jawa, yakni nilai leluhur.
Nilai-nilai kemanusiaan
dalan sastra jawa tersebut meliputi saling membantu, saling menghormati dan
menghargai, saling percaya terhadap kebaikan, serta nilai-nilai lain yang
menjadikan manusia menjalin hubungan yang baik dengan sesamanya.
E.
Kesusastraan Bali
1. SEJARAH
Bali berasal dari kata “Bal” dalam
bahasa Sansekerta berarti "Kekuatan", dan "Bali" berarti
"Pengorbanan" yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita.
Supaya kita selalu siap untuk berkorban. Bali mempunyai 2 pahlawan nasional
yang sangat berperan dalam mempertahankan daerahnya yaitu I Gusti Ngurah Rai
dan I Gusti Ketut Jelantik.
2. DESKRIPSI
LOKASI
Pulau
Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda
Kecil yang beribu kota Denpasar. Tempat-tempat penting lainnya adalah Ubud
sebagai pusat seni terletak di Kabupaten Gianyar, sedangkan Kuta, Sanur,
Seminyak, dan Nusa Dua adalah beberapa tempat yang menjadi tempat tujuan
pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan. Suku bangsa Bali
dibagi menjadi 2 yaitu: Bali Aga (penduduk asli Bali biasa tinggal di daerah
trunyan), dan Bali Mojopahit (Bali Hindu / keturunan Bali Mojopahit).
3. UNSUR – UNSUR BUDAYA
a.
BAHASA
Bali sebagian besar
menggunakan bahasa Bali dan bahasa Indonesia, sebagian besar masyarakat Bali
adalah bilingual atau bahkan trilingual. Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga
dan bahasa asing utama bagi masyarakat Bali yang dipengaruhi oleh kebutuhan
industri pariwisata. Bahasa Bali di bagi menjadi 2 yaitu, bahasa Aga yaitu
bahasa Bali yang pengucapannya lebih kasar, dan bahasa Bali Mojopahit.yaitu bahasa
yang pengucapannya lebih halus.
b.
PENGETAHUAN
Banjar atau bisa
disebut sebagai desa adalah suatu bentuk kesatuan-kesatuan social yang
didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan social tersebut diperkuat oleh
kesatuan adat dan upacara keagamaan. Banjar dikepalahi oleh klian banjar yang
bertugas sebagai menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan sosial dan
keagamaan,tetapi sering kali juga harus memecahkan soal-soal yang mencakup
hukum adat tanah, dan hal-hal yang sifatnya administrasi pemerintahan.
c.
TEKNOLOGI
Masyarakat Bali telah
mengenal dan berkembang system pengairan yaitu system subak yang mengatur
pengairan dan penanaman di sawah-sawah. Dan mereka juga sudah mengenal
arsitektur yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan yang menyerupai bangunan
Feng Shui. Arsitektur merupakan ungkapan perlambang komunikatif dan edukatif.
Bali juga memiliki senjata tradisional yaitu salah satunya keris. Selain untuk
membela diri, menurut kepercayaan bila keris pusaka direndam dalam air putih
dapat menyembuhkan orang yang terkena gigitan binatang berbisa.
d.
ORGANISASI
SOSIAL
1)
Perkawinan
Penarikan garis keturunan dalam
masyarakat Bali adalah mengarah pada patrilineal. System kasta sangat
mempengaruhi proses berlangsungnya suatu perkawinan, karena seorang wanita yang
kastanya lebih tinggi kawin dengan pria yang kastanya lebih rendah tidak dibenarkan
karena terjadi suatu penyimpangan, yaitu akan membuat malu keluarga dan
menjatuhkan gengsi seluruh kasta dari anak wanita.
Di beberapa daerah Bali ( tidak semua
daerah ), berlaku pula adat penyerahan mas kawin ( petuku luh), tetapi sekarang
ini terutama diantara keluarga orang-orang terpelajar, sudah menghilang.
2)
Kekerabatan
Adat menetap diBali sesudah menikah
mempengaruhi pergaulan kekerabatan dalam suatu masyarakat. Ada macam 2 adat
menetap yang sering berlaku diBali yaitu adat virilokal adalah adat yang
membenarkan pengantin baru menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat
suami,dan adat neolokal adalah adat yang menentukan pengantin baru tinggal
sendiri ditempat kediaman yang baru. Di Bali ada 3 kelompok klen utama
(triwangsa) yaitu: Brahmana sebagai pemimpin upacara, Ksatria yaitu :
kelompok-klompok khusus seperti arya Kepakisan dan Jaba yaitu sebagai pemimpin
keagamaan.
3)
Kemasyarakatan
Desa, suatu kesatuan hidup komunitas
masyarakat bali mencakup pada 2 pengertian yaitu : desa adat dan desa dinas
(administratif). Keduanya merupakan suatu kesatuan wilayah dalam hubungannya
dengan keagamaan atau pun adat istiadat, sedangkan desa dinas adalah kesatuan
admistratif. Kegiatan desa adat terpusat pada bidang upacara adat dan
keagamaan, sedangkan desa dinas terpusat pada bidang administrasi, pemerintahan
dan pembangunan.
4. MATA
PENCAHARIAN
Pada umumnya masyarakat bali bermata
pencaharian mayoritas bercocok tanam, pada dataran yang curah hujannya yang
cukup baik, pertenakan terutama sapi dan babi sebagai usaha penting dalam
masyarakat pedesaan di Bali, baik perikanan darat maupun laut yang merupakan
mata pecaharian sambilan, kerajinan meliputi kerajinan pembuatan benda anyaman,
patung, kain, ukir-ukiran, percetakaan, pabrik kopi, pabrik rokok, dll. Usaha dalam
bidang ini untuk memberikan lapangan pekerjaan pada penduduk. Karena banyak
wisatawan yang mengunjungi bali maka timbullah usaha perhotelan, travel, toko
kerajinan tangan.
5. RELIGI
Agama yang di anut oleh sebagian orang
Bali adalah agama Hindu sekitar 95%, dari jumlah penduduk Bali, sedangkan
sisanya 5% adalah penganut agama Islam, Kristen, Katholik, Budha, dan Kong Hu
Cu. Tujuan hidup ajaran Hindu adalah untuk mencapai keseimbangan dan kedamaian
hidup lahir dan batin.orang Hindu percaya adanya 1 Tuhan dalam bentuk konsep
Trimurti, yaitu wujud Brahmana (sang pencipta), wujud Wisnu (sang pelindung dan
pemelihara), serta wujud Siwa (sang perusak). Tempat beribadah dibali disebut
pura. Tempat-tempat pemujaan leluhur disebut sangga. Kitab suci agama Hindu adalah
weda yang berasal dari India.
Orang yang meninggal dunia pada orang
Hindu diadakan upacara Ngaben yang dianggap sanggat penting untuk membebaskan
arwah orang yang telah meninggal dunia dari ikatan-ikatan duniawinya menuju
surga. Ngaben itu sendiri adalah upacara pembakaran mayat. Hari raya umat agama
hindu adalah Nyepi yang pelaksanaannya pada perayaan tahun baru saka pada
tanggal 1 dari bulan 10 (kedasa), selain itu ada juga hari raya galungan,
kuningan, saras wati, tumpek landep, tumpek uduh, dan siwa ratri.
Pedoman dalam ajaran agama Hindu yakni :
(1).tattwa
(filsafat agama),
(2).
Etika (susila),
(3).Upacara
(yadnya).
Dibali ada 5 macam upacara (panca
yadnya), yaitu
(1).
Manusia Yadnya yaitu upacara masa kehamilan sampai masa dewasa.
(2).
Pitra Yadnya yaitu upacara yang ditujukan kepada roh-roh leluhur.
(3).Dewa
Yadnya yaitu upacara yang diadakan di pura / kuil keluarga.
(4).Rsi
yadnya yaituupacara dalam rangka pelantikan seorang pendeta.
(5).
Bhuta yadnya yaitu upacara untuk roh-roh halus disekitar manusia yang
mengganggu manusia.
6. KESENIAN
Kebudayaan kesenian di bali di golongkan
3 golongan utama yaitu seni rupa misalnya seni lukis, seni patung, seni
arsistektur, seni pertunjukan misalnya seni tari, seni sastra, seni drama, seni
musik, dan seni audiovisual misalnya seni video dan film.
7. Nilai-Nilai Budaya
1.
Tata krama :
kebiasaan sopan santun yang di sepakati dalam lingkungan pergaulan antar
manusia di dalam kelompoknya.
2.
Nguopin : gotong
royong.
3.
Ngayah atau
ngayang : kerja bakti untuk keperluan agama.
4. Sopan
santun : adat hubungan dalam sopan pergaulan terhadap orang-orang yang berbeda
sex.
8. ASPEK PEMBANGUNAN
Di Bali jenis mata pencahariannya adalah
bertani disawah. Mata pencaharian pokok tersebut mulai bergeser pada jenis mata
pencaharian non pertanian. Pergeseran ini terjadi karena bahwa pada saat
sekarang dengan berkembangnya industri pariwisata di daerah Bali, maka mereka
menganggap mulai berkembanglah pula terutama dalam mata pencaharian
penduduknya.
Sehingga kebanyakan orang menjual
lahannya untuk industri pariwisata yang dirasakan lebih besar dan lebih cepat
dinikmati. Pendapatan yang diperoleh saat ini kebanyakan dari mata pencaharian
non pertanian, seperti : tukang, sopir, industri, dan kerajinan rumah tangga.
Industri kerajinan rumah tangga seperti memimpin usaha selip tepung, selip
kelapa, penyosohan beras, usaha bordir atau jahit menjahit.
Sastra
di Bali
Seperti
kesusastraan umumnya, sastra Bali ada yang diaktualisasikan dalam bentuk lisan
(orality) dan bentuk tertulis (literary). Menurut katagori periodisasinya
kesusastraan Bali ada yang disebut Sastra Bali Purwa dan Sastra Bali Anyar.
Sastra Bali Purwa maksudnya adalah Sastra Bali yang diwarisi secara tradisional
dalam bentuk naskah-naskah lama. Sastra Bali Anyar yaitu karya sastra yang
diciptakan pada masa masyarakat Bali telah mengalami modernisasi. Ada juga yang
menyebut dengan sebutan Sastra Bali Modern.
Sastra
Bali sebelum dikenal adanya kertas di Bali, umumnya ditulis di atas daun
lontar. Karena ditulis di atas daun lontar, "buku sastra" ini disebut
dengan "lontar". Memang ada bentuk tertulis lainnya, seperti
prasasti, dengan menggunakan berbagai media seperti batu dan lempengan tembaga,
namun tidak terdapat karya Sastra Bali ditulis di atas bilah bambu, kulit
binatang, kayu, kulit kayu. Belakangan setelah dikenal kertas, penulis karya
sastra Bali menuliskan karyanya di atas kertas, bahkan sudah banyak diketik.
Bahasa
yang digunakan untuk menulis Sastra Bali ada tiga jenis yaitu Bahasa Jawa Kuna
(Kawi Bali), Bahasa Jawa Tengahan, Bahasa Bali.
Pembagian Kesusastraan Bali
Kesusastraaan Bali itu dapat dibagi menjadi empat yaitu :
- Kesusastraan Bali menurut bentuknya
- Kesusastraan Bali menurut jaman
- Kesusastraan Bali menurut cara menuturkannya
- Kesusastraan Bali menurut bahasanya
Kesusastraan Bali menurut
bentuknya dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
- Tembang ( puisi )
- Gancaran ( prosa )
- Palawakia (prosa lirik )
Kesusastraan Bali menurut jaman dapat dibedakan
menjadi dua yaitu :
- Kesusastraan Bali Purwa ( tradisional )
- Kesusastraan Bali Anyar ( modern )
Kesusastraan Bali menurut cara
menuturkannya ada dua jeni yaitu :
- Sastra gantian ( sastra lisan,rakyat)
- Sastra sesuratan (sastra tulisan )
Kesusastraan
Bali menurut bahasanya pada umumnya memakai tembang mecepat dan bahasanya
memakai bahasa Bali kepara ( Bali Umum) . tetapi ada pula menggunakan bahasa
Bali Kuno ( Kawi ), Tengahan,Sansekerta. adapun bagiannya yaitu :
- Lontar Geguritan ( Menggunakan Bahaa Bali kepara pada umumnya )
- Kidung ( Menggunakan Bahasa campuran antara bahasa Bali Kuna, bahasa Jawa Tengahan dan bahasa Kawi )
- Kekawin ( Menggunakan Bahasa Kawi )
F.
Kesusatraan Sulawesi Selatan
Peta
Sastra dan Budaya Sulawesi Selatan saat ini sudah mulai nampak nyata pada
permukaan peta sastra Indonesia. hal itu dapat dilihat dari buku-buku yang
ditulis oleh penulis-penulis sastra budaya Sulsel, baik yang terbit di Sulawesi
selatan, maupun yang terbit di luar Sulawesi Selatan.
Beberapa
buku yang ditulis maupun yang dieditori oleh para sastrawan dan ahli sastra
kita juga telah meneropong kehadiran sastra Sulawesi Selatan sebagai basis
sastra yang perlu diperhitungkan di masa depan. Sebutlah misalnya, “9 Jawaban
Sastra” oleh Maman S. Mahayana, telah menyebut-nyebut beberapa nama “generasi
muda” penyair Sulawesi Selatan seperti Aslan Abidin, Muhary Wahyu Nurba,
Tri Astoto Kodarie, Tomy Tamara, Badaruddin Amir dll. Juga dalam buku
tebal “Ensiklopedi Sastra Indonesia” susunan Prof. Dr. Hasanuddin WS,
telah memasukkan nama-nama penting penyair dan sastrawan muda Sulawesi Selatan,
serta buku “Leksikon Kesusastraan Indonesia” yang disusun oleh Korrie Layun
Rampan dan diterbitkan oleh Gramedia, telah memasukkan beberapa nama
penyair/sastrawan muda Sulawesi Selatan. Hal ini menandakan bahwa dalam peta
sastra Indonesia, Sulawesi Selatan tidak lagi hanya menenpati satu titik kecil
yang tak terlihat dipermukaan.
Selain
dari apa yang dapat diungkap oleh para pengamat sastra kita itu, satu hal yang
sangat menggembirakan serta lebih menegaskan lagi kehadiran Sastrawan
Sulsel dalam peta sastra Indonesia adalah terbitnya puluhan buku-buku sastra
yang ditulis oleh para penulis Sulsel. Kendati buku-buku tersebut, sebagaimana
buku-buku terbitan daerah lainnya, tak dapat merambah seluruh wilayah Indonesia
(kecuali beberapa di antaranya), namun telah mempertegas kehadiran penulisnya
dalam Peta Sastra Indonesia.
G. Kesusastraan Modern Indonesia
Kehadiran
kesusastraan Indonesia saat ini tentu saja mempunyai kesejarahan yang begitu
panjang. Boleh jadi kesejarahan tersebut berkaitan dengan banyak hal, semisal
masalah sosial, politik, ide kebangsaan, kebahasaan, maupun bentuk formal
kesusastraan itu sendiri. Tentu saja faktor-faktor tersebut memengaruhi jawaban
menyoal kapan kesusastraan Indonesia atau lebih tepatnya kesusastraan Indonesia
modern tersebut lahir. Tentang kapan kelahiran kesusastraan Indonesia modern
telah banyak diperbincangkan dan diperdebatkan oleh ahli-ahli kesusastraan
Indonesia, bahkan hingga sekarang. Walaupun demikian, seperti ada “kesepakatan”
bahwa awal mula kesusastraan Indonesia modern bersamaan dengan kemunculan Balai
Pustaka yang didirikan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1917. A. Teeuw dalam
karangannya Pokok
dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru tidak secara tegas menyebutkan
awal mula kelahiran kesusastraan Indonesia Baru. Ia hanya memaparkan bahwa pada
tahun 1920-an merupakan masa kecil kesusastraan Indonesia modern (1953: 122).
Melihat angka tahun yang diungkapkan oleh Teeuw, tentu saja hal tersebut
merujuk pada Balai Pustaka dan roman yang pertama kali diterbitkan oleh Balai
Pustaka yaitu Azab
dan Sengsara (1920)
karya Merari Siregar. Teeuw menekankan pada titik tolak “inovasi” dalam
kesusastraan yang modern. Inovasi yang dimaksud Teeuw adalah
pembaruan-pembaruan yang terdapat dalam karya sastra Modern dan tentu saja yang
membedakan dengan yang klasik, misalnya individualitas, bentuk, dan bahasa.
Berbeda
dengan Teeuw yang menekankan pada ihwal inovasi, Ajip Rosidi berpendapat lain
soal kelahiran kesusastraan Indonesia Modern. Menurut Ajip Rosidi, bahasa dan
kesusastraan Indonesia modern lahir akibat pertemuan bahasa dan sastra Melayu
dengan paham-paham yang berasal dari kebudayaan Eropa modern (1991: 10).
Kebudayaan Eropa modern yang dimaksud oleh Ajip Rosidi adalah semangat
nasionalisme. Periode kelahiran kesusastraan Indonesia modern versi Ajip Rosidi
tidak berdasarkan pada novel terbitan Balai Pustaka tetapi pada puisi Muh.
Yamin yang berjudul “Tanah Air” dalam majalah Jong Sumatra (1922).
Permulaan
kesusastraan Indonesia modern versi Umar Junus lebih mengejutkan. Umar Junus
menekankan bahwa sastra Indonesia lahir setelah bahasa Indonesia lahir. Dengan
demikian Junus mengambil titik Sumpah Pemuda (1928) sebagai titik permulaan
kesusastraan Indonesia modern. Sebelum tahun tersebut, karya yang diterbitkan
tidak dapat dimasukkan dalam kesusastraan Indonesia melainkan kesusastraan
Melayu (1988: 1).
Ketiga
pendapat tersebut memberikan gambaran bahwa kelahiran kesusastraan Indonesia
modern berkisar antara tahun 1920-an. Dari angka tahun tersebut, barangkali
“kesepakatan” bahwa Balai Pustaka merupakan penanda kelahiran kesusastraan
Indonesia modern terbentuk. Namun, beberapa pertanyaan kemudian muncul ke
permukaan, lalu bagaimana dengan karya-karya sastra yang dipublikasikan sebelum
angka tahun tersebut? Apakah karya-karya tersebut termasuk khazanah
kesusastraan Indonesia modern? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada
baiknya kita tilik sebentar apa itu Balai Pustaka.
Seperti
yang telah disinggung sebelumnya, Balai Pustaka seringkali dianggap sebagai penanda
awal mula kesusastraan Indonesia modern. Balai Pustaka sendiri dibentuk oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1917 (Teeuw, 1953: 119; Eneste,
1988: 6; Rosidi, 1991: 16). Sebelum bernama Balai Pustaka, lembaga ini
dahulunya bernama Commissie
voor de Inlandsche School em Volkslectuur(Komisi Sekolah Pribumi dan Bacaan
Rakyat) yang didirikan pada tanggal 14 September 1908 (Teeuw, 1955: 119).
Tujuan Balai Pustaka adalah “mengadakan sjarat ‘batjaan yang bersifat
membangun’ dengan tjorak ‘membentuk budi pekerti’ atau ‘membawa ketjerdasan’
(ibid: 122). Selain itu pula, bahasa yang digunakan dalam terbitan Balai
Pustaka adalah bahasa Melayu Tinggi—bahasa Melayu yang sesuai dengan ejaan yang
disusun oleh Van Ophuysen (Samuel, 2008: 146). Dengan demikian, tentulah tujuan
utama Balai Pustaka adalah melakukan sensor terhadap bacaan yang layak bagi
pribumi di Hindia Belanda—layak dalam hal isi juga layak dalam hal bahasa.
Pembentukan Commissie
voor de Inlandsche School em Volkslectuur yang kemudian berubah menjadi Balai
Pustaka tentulah tanpa sebab. Dengan melihat tujuannya saja, kita dapat
berasumsi bahwa sebelum terbentuknya Commissie voor de Inlandsche
School em Volkslectuur telah muncul fenomena sosial yang menyebabkan
kemunculan komisi bacaan tersebut. Fenomena sosial yang pertama adalah masalah
pendidikan. Pada awal abad ke-20, sebagian pribumi mampu membaca dan telah
mendapatkan pendidikan dasar di sekolah. Oleh sebab itu, kebutuhan bacaan
begitu tinggi bagi pribumi sedangkan penerbit swasta telah banyak didirikan dan
banyak pula menerbitkan buku cerita terutama penerbit yang didirikan oleh
peranakan Tionghoa. Banyaknya terbitan dari pihak swasta itulah yang
menyebabkan pemerintah kolonial membentuk komisi bacaan guna menentukan mana
bacaan yang “baik” dan mana bacaan yang “liar” (Damono, 2011: 13). Fenomena
sosial lainnya adalah pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 perkembangan
surat kabar di Hindia Belanda begitu pesat. Sama halnya dengan penerbitan,
persuratkabaran tersebut juga banyak dikelola oleh peranakan Tionghoa,
Indo-Belanda, dan Pribumi. Di dalam surat kabar tersebut juga terdapat sisipan
cerita bersambung yang kemudian dicetak dalam buku oleh penerbit-penerbit
swasta. Surat-surat kabar tersebut di antaranya adalah Bianglala,
Bintang Betawi, Medan Prijaji, Sin Po, Taman Sari, Warna Warta, dsb.
Surat kabar tersebut menggunakan bahasa Melayu perhubungan yang dalam istilah
pemerintah kolonial disebut sebagai bahasa Melayu Rendah.
Gambaran
umum tersebut setidaknya mengilustrasikan bahwa sebelum terbentuknya Balai
Pustaka terdapat karya sastra yang dimuat dalam beberapa surat kabar. Hal ini
dibuktikan dalam beberapa penelitian tentang karya sastra sebelum perang dan
lebih khususnya sebelum Balai Pustaka. Claudine Salmon mencatat pada tahun 1886
terdapat syair iklan yang berjudul “Sair dari adanja Boekoe Tjerita Tjina njang
soeda disalin bahasa Melajoe”. Syair tersebut ditulis oleh Ting Sam Sien (2010:
62). Sapardi Djoko Damono juga menemukan puisi yang dimuat dalam majalah Bianglala pada
tahun 1870 yang berjudul “Amin” ditulis oleh A.D (2004: 17). Selain Claudine
Salmon dan Sapardi Djoko Damono, Ibnu Wahyudi dalam penelitiannya mencatat
bahwa pada tahun 1893, A. Rogensburg telah menerbitkan novel yang berjudul Hikajat
Roh Manoesia yang
diterbitkan oleh t.n.p. (1988: 90).
Temuan-temuan
tersebut setidaknya mewarnai khazanah kesusastraan Indonesia modern. Sekalipun
temuan-temuan tersebut tidak dimasukkan dalam kesusastraan Indonesia modern,
toh pada akhirnya pembentukan Balai Pustaka bertujuan untuk menyensor
bacaan-bacaan yang beredar. Dengan demikian pembentukan Balai Pustaka secara
langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh peredaran-peredaran karya sastra
sebelum Balai Pustaka. Jika karya sastra terbitan Balai Pustaka dianggap
sebagai tonggak kesusastraan Indonesia modern, pemicunya pun harusnya juga
dimasukkan dalam khazanah kesusastraan Indonesia modern.
Permasalahan
yang ditimbulkan sebenarnya berada pada kata “modern” yang membedakan dengan
yang “klasik”. Tentunya kita harus bersikap arif dengan kata “modern”.
Pengertian kata “modern” yang ditekankan oleh Sapardi Djoko Damono setidaknya
melenturkan makna kata tersebut. Sapardi menggarisbawahi kata “modern” dengan
pengertian telah digunakannya aksara latin dan disebarluaskannya dalam bentuk
tercetak juga tidak secara langsung berkaitan dengan pandangan hidup atau sikap
hidup yang tersirat atau tersurat di dalamnya (1999: 15). Dengan demikian,
perbedaan tradisi literal di Indonesia antara yang “klasik” dan yang “modern”
pun kentara. Jika tradisi literal “klasik” ditulis dalam aksara jawi maupun
aksara daerah lainnya dan disebarkan dalam bentuk salinan (tulisan tangan)
terbatas, tradisi literal “modern” ditulis dalam aksara latin dan
disebarluaskan dalam bentuk cetakan. Dengan demikian pula, kita dapat melihat
permulaan kesusastraan Indonesia modern baik bentuk maupun isinya alih-alih
hanya melihat isinya saja
H. Kesusastraan
Indonesia dan Media Massa
Prosa Indonesia
telah berkembang sedemikian rupa mencari bentuknya. Dengan dukungan sarana publikasi
media massa cetak, prosa bersama dengan puisi dan kritik sastra dan seni tumbuh
subur dalam kehidupan sastra. Dari hari ke hari kian muncul sejumlah karya baru
dan penulis baru. Disertai dengan capaian-capaian yang memperkaya keberadaan
sastra kita. Sastra seakan mengukuhkan diri sebagai sebuah lini dari seni dan
budaya yang mendapatkan tempat penting di tengah-tengah masyarakat. Sesuatu
yang telah dilontarkan oleh Sartre dalam What is Literature? (1986), karena
keunikan sastra dalam mengolah berbagai emosi dan keberterimaannya dalam
masyarakat luas, terutama karena peran bahasa sebagai media utamanya. Dalam
waktu belakangan, banyak lahir dan hadir penulis muda yang memiliki karakter
tersendiri dalam karya-karya sastranya. Setelah kepergian sejumlah sastrawan
berkelas dan berkarakter seperti Umar Kayam, AA Navis, Kuntowijoyo, hingga
Pramoedya Ananta Toer, dobrakan penting dalam sastra sangat ditunggu. Inilah
mungkin masa-masa kesedihan sekaligus harapan akan lahirnya sastrawan yang akan
membawa dan mengenalkan budaya bangsa pada dunia. Dengan wilayah eksplorasi
yang berbeda, mereka menjadi pelanjut kehidupan sastra kita. Setiap masa selalu
melahirkan sejarahnya sendiri. Demikian juga dengan sejarah sastra (Indonesia).
Setiap periode memiliki nama dan gaya pengucapan tersendiri, yang merupakan
hasil dari pergaulan antara sastra Indonesia dengan sastra dunia, antara sastra
dengan disiplin yang lain, sastra dan realitas sosial, dan pergaulan berbagai
wacana dan sejarah sastra itu sendiri.
Cerpen, Novel,
dan Media Massa Cerpen dan novel masih menjadi karya yang mendapatkan tempat di
tengah-tengah pembaca kita. Cerpen memiliki tempat khusus di koran-koran dan
majalah. Sekian puluh, atau ratus, cerpen lahir dari tangan para cerpenis
setiap minggu. Sebagiannya berhasil masuk dalam rubrik koran dan majalah, dan
sebagian lebih besar harus berpuas diri untuk didiamkan atau masuk dalam
barisan antri. Demikian juga halnya dengan sayembara cerpen yang berhasil
menghimpun banyak karya.Kehadiran cerpen di ruang-ruang koran merupakan bentuk
fasilitasi yang menarik, dengan penyandingan antara fakta dan fiksi. Dengan
menghadapi koran, pembaca dibiasakan untuk berhadapan dengan fakta dan berita.
Resepsi yang disiapkan oleh pembaca membuat redaktur budaya bersiasat untuk menghadirkan
cerpen dengan cara sedemikian rupa. Tak lepas dari itu adalah kecenderungan
cerpen di koran yang harus beriringan dengan peristiwa yang ada di dalamnya. Di
tengah-tengah kondisi seperti ini, kebebasan eksperimentatif dan eksploratif
estetik cerpenis terus ditantang. Berbagai cara dilakukan, baik yang
berhubungan dengan tema, peristiwa, maupun bahasa.
DAFTAR
PUSTAKA
Damono,
Sapardi Djoko. 1999. “Awal Perkembangan Sastra Modern di Indonesia: Kasus
Sastra Melayu dan Jawa” dalam Politik, Ideologi, dan Sastra
Hibrida. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
___________________.
2004. Puisi
Indonesia Sebelum Kemerdekaa. Bandung: Remaja Rosada Karya.
___________________.
2011. “Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan” dalam makalah kuliah umum di
Komunitas Salihara pada tanggal 21 September 2011.
Eneste,
Pamusuk. 1988. Ikhtisar
Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Penerbit Jambatan.
Rosidi,
Ajip. 1991. Ikhtisar
Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.
Salmon,
Claudine. 2010. “Awal Kesusastraan Melayu-Tionghoa Dicerminkan oleh Sebuah
Syair Iklan Tahun 1886” dalam Sastra Indonesia Awal: Kontribusi
Orang Tionghoa. Jakarta:
KPG.
Samuel,
Jerome. 2008. Kasus
Ajaib Bahasa Indonesia?: Pemodernan Kosakata dan Politik Peristilahan.Jakarta:
KPG.
Teeuw,
A. 1953. Pokok
dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru. Jakarta: Yayasan Pembangunan.
________.1994.
“Hamzah Fansuri Sang Pemula Puisi Indonesia” dalam Indonesia:
Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wahyudi,
Ibnu. 1988. “Perkembangan Novel Indonesia Sebelum Balai Pustaka”/ Laporan
penelitian. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia
Casino in CT - DRMCD
BalasHapusPlay games 여주 출장마사지 in CT! Slots, 나주 출장마사지 blackjack, poker, slots, table games, keno, 안양 출장마사지 roulette, and more! Casino is also home 남양주 출장샵 to many fantastic table 원주 출장안마 games and live