Sabtu, 08 Juni 2013

Sastra di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Belakangan ini sastra dianggap kurang penting dan kurang berperan dalam masyarakat Indonesia hari ini. Hal ini terjadi karena masyarakat kita saat ini sedang mengarah ke masyarakat industri sehingga konsep-konsep yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik dianggap lebih penting dan mendesak untuk digapai. Ulasan ini diharapkan dapat menggugah kembali kesadaran kita untuk menempatkan pengajaran sastra Indonesia pada tempat yang layak dan sejajar dengan mata ajar lainnya. Indonesia, negara yang kaya akan budaya, ternyata menyimpan khasanah sastra klasik yang sangat beragam. Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki tradisi sastra baik lisan maupun tulisan. Naskah-naskah sastra klasik Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu, Jawi, Sunda, Batak, Bone, ataupun Makassar dapat berbentuk puisi lama, syair, pantun, gurindam, karmina, mantra, dan prosa. Sastra-sastra klasik itu mengandung muatan nilai-nilai budaya dan moral yang tinggi.
Sebagai negara yang sarat akan budaya dan tradisi nilai-nilai yang luhur, memperkenalkan karya-karya sastra klasik merupakan sebuah jembatan pendidikan moral yang sangat efektif. Kelas bahasa dan sastra, sepatutnya menjadi kelas yang mampu menciptakan iklim cinta pada budaya bangsa sendiri.
Namun, seiring derasnya pengaruh negatif budaya negara lain, masyarakat Indonesia melupakan nilai-nilai luhur budaya bangsa tadi.
Masyarakat Indonesia kurang mengenal karya sastra miliknya sendiri, yang bersumber dari tradisi lisan maupun tulis leluhurnya

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka akan dijelaskan beberapa hal sebagai berikut:
1.      Sastra Tradisional
2.      Sastra Lisan dan Tulisan
3.      Kesusastraan Melayu
4.      Kesusastraan Sunda
5.      Kesusastraan Jawa
6.      Kesusastraan Bali
7.      Kesusastraan Sulawesi Selatan
8.      Kesusastraan Modern Indonesia
9.      Kesusastraan Indonesia dan Media Massa




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sastra Tradhisional
Disekitar kehidupan kita banyak dijumpai berbagai hal seperti adat kebiasaan, konvensi, nilai-nilai, dan lain-lain, termasuk didalamnya cerita yang telah mewarisi secara turun temurun yang tidak diketahui secara pasti kapan munculnya hal-hal itu semua. Hal itu disebabkan berbagai tradsisi tersebut, yang dalam hal ini terutama yang berwujud cerita da tradsisi bercerita, berlangsung secara alamiah dan lisan sehingga tidak diketahui pasti angka tahunnya. Berbagai cerita dan kebiasaan bersastra yang lain yang masih mengandalkan sarana lisan untuk menyampaikannyakepada orang lain dan antar generasi tersebut kini dikenal sebagaisastra tradsional.

1.      Hakekat dan karakteristik sastra tradsional
Sastra tradisional terdiri dari dua kata yaitu kata sastra dan tradsional. Pengertian dari Sastra itu sendiri adalah seni yang menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan dalam sastra berbeda dengan bahasa sehari-hari. Bahasa dalam sastra diolah sedemikian rupa sehingga menimbulkan nilai-nilai keindahan. Sedangkan tradisional artinya suatu tadisi atau adat yang diwariskan secara turun temurun (menurut KBBI). Jadi sastra tradisional adalah karya sastra yang diwariskan secara turun-temurun.
Adapun pengertian sastra tradsisonal Menurut Mitchell, (2003:228): Sastra tradisional (traditional literature) merupakan suatu bentuk ekspresi masyarakat pada masa lalu yang umumnya disampaikan secara lisan. Manusia selalu berkomunikasi dan berekspresi sebagai salah satu manifestasi eksistensi diri dan kelompok sosialnya. Cerita dan tradisi bercerita sudah dikenal sejak manusia ada di muka bumi ini, jauh sebelum mereka mengenal tulisan. Cerita merupakan sarana penting untuk memahami dunia dan mengekspresikan gagasan, ide-ide dan nilai-nilai. Selain itu sastra juga sebagai sarana penting untuk memahamkan dunia kepada orang lain, menyimpan dan mewariskan gagasan dan nilai-nilai dari generasi ke generasi.
Sastra tradisional dikenal di berbagai belahan dunia, misalnya cerita dari Yunani Klasik, India, Cina, Jepang dan dari berbagai pelosok tanah air Indonesia. Cerita-cerita tradisional dapat berwujud legenda, mitos, fable, dan berbagai bentuk cerita rakyat yang lain yang sering disebut sebagai folklore, folktale atau sebutan-sebutan kategorisasi lainnya.
Secara umum kesusastraan menurut Stewig (1980:160-1), dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu
(i)                 sastra rekaan (composed literature) dan
(ii)               sastra tradisional (traditional literature).
Menurut Mitchell (2003:228) cerita-cerita tradisional pada umumnya menampilkan tokoh yang bersifat sederhana dan stereotip yang mempresentasikan kualitas sifat kemanusiaan tertentu. Dilihat dari segi alur, cerita tradisional pada umumnya bersifat linear dan hanya menampilkan satu jalinan kisah. Jadi sama halnya dengan penokohan, pengaluran cerita tradisional juga bersifat sederhana. Selain itu di sana-sini di sela-sela alur cerita juga lewat karakter tokoh diselipi dengan pesan-pesan moral dan pandangan tentang kebenaran.
Adapun karakteristik sastra tradsional antara lain adalah:
a.       Pada umumnya tidak diketahui pengarangnya karena kemunculannyapun tidak disengaja dan berlangsung dari waktu kewaktu, dan tidak sekaligus seperti halnya penulisan sastra dewasa ini
b.      Pada umumnya berupa cerita traditional
c.       Sastra traditional merupakan milik masyarakat.
d.      Merupakan sebuah warisan sastra anak yang berharga dan menjadi dasar pemahaman seluruh kesastraan.
e.       Bersifat traditional karena hanya diwariskan secara lisan, dan bersifat personal karena tiap pencerita memiliki kebebasan untuk memilih berbagai bentuk kebahasaan sesuai dengan seleranya.
f.       Karena hanya diwariskan secara lisan, sastra tradirional dapat berubah-ubah dalam arti para pencerita yang dapat kemudian menambah atau mengurangi( dapat karena lupa atau disengaja) sebagian dari cerita.
g.      Menurut mitthcell (2003:228) cerita-cerita traditional pada umumnya menampilkan tokoh yang bersifat sederhana san stereotip(flat and stereotypical characters)  yang mempersentasikan kualitas sifat kemanusiaan tertentu.
h.      Dilihat dari segi alur cerita traditional pada umumnya bersifat linear dan hanya menampilkan satu jalinan kisah.
i.        Pengaluran cerita traditional bersifat sederhana.
j.        Mencerminkan kondisi kehidupan sosial budaya masyarakat pendukungnya
k.      Cerita traditional hadir untuk  memberikan pengajaran sebab masyarakat pada zaman dahulu  menjadikan sarana lisan yang bergerak dari mulut kemulut merupakan sarana terpenting untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain.
l.        Cerita tradisional pada umumnya kurang atau tidak masuk akal, namun begitulah cara orang dahulu memaknai kehidupan dan dunia.
m.    Cerita traditional merupakan akar dari kata-kata dan dunia kita

2.      Nilai dan fungsi sastra tradisional
Karya sastra yang baik seantiasa mengandung nilai(value). Nilai itu dikemas dalam wujud struktur jarya sastra, yang secara implicit terdapat dalam alur, latar, tokoh, tema, dan amanat atau didalam larik, kuplet, rima dan irama.
Nilai yang terkandung dalam suatu karya sastra antara lain:
a.       Nilai hedonik(hedonic value) yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca atau penikmat sastra.
b.      Nilai artistic(artistic value) yaitu nilai yang dapat memanivestasikan suatu seni atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan.
c.       Nilai cultural(cultural value) yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, atau kebudayaan.
d.      Nilai etis, moral agama(ethical, moral, religious value) yaitu nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral dan agama.
e.       Nilai praktis(practical value) yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Sedangkan nilai yang terkandung dalam karya sastra tradisional itu sendiri antara lain adalah:
a.       Memberikan pembelajaran tentang prinsip-prinsip keadilan dan penilaian moral bagi anak.
b.      Merupakkan sesuatu yang paling berharga dalam jiwa manusia dalam hal ini adalah cerita fantasi
c.       Sebagai refleksi kehidupan sosial budaya masyarakt yang dijadikan latar karya
Karya sastra juga memiliki beberapa fungsi dalam kehidupan. Dilihat dari fungsi kesastraan bagi kehidupan manusia, sastra traddisional ( traditional literature) mempunyai fungsi yang tidak berbeda halnya dengan kesastraan modern.
Fungsi Sastra Tradisional antara lain adalah:
a.       Memahami akar eksistensi manusia dan kemanusiaan serta hdup dan kehidupan pada masa lalu yang menjadi akar kehidupan dewasa ini
b.      Sebagai bahan bacaan cerita Sastra(composed Literature).
c.       Memfasilitasi anak untuk memahami kebesaran dimasa lalu, mengenal dan memahami “nenek moyang” yang menyebabkan eksistensi kita dimasa kini, dan belajar mengapresiasi warisan leluhur.

3.      Jenis Sastra Tradisional
Dalam dunia kesastraan Indonesia dikenal adanya penanaman sastra melayu lama yang meujuk kepada berbagai jenis sastra rakyat yang dihasilkan oleh masyarakat melayu.meurut fang(1976:1) membedakan sastra rakyat Melayu lama kedalam lima macam yaitu
(i)                 cerita asal-usul,
(ii)               cerita binatang,
(iii)             cerita jenaka,
(iv)             cerita pelipur lara dan
(v)               pantun.
Sastra tradisional terdiri dari berbagai jenis seperti mitos, legenda, fable, cerita rakyat(folktale, folklore), nyanyian rakyat dan lain-lain. Pembedaan jenis sastra tradisional tersebut sebagaimana dikemukakan Mithcell(2003:228) tidak pernah jelas.
Adapun jenis sastra tradisional yang dikenal di Indonesia yaitu:
a.      MITOS
Mitos adalah satu jenis cerita lama yang sering dikaitkan dengan dewa-dewa atau kekuatan-kekuatan supranatural yang lain yang melebihi batas-batas kemampuan manusia. Mitos ada empat yaitu:
1)      Mitos penciptaan
Mitos penciptaan disebut juga mitos asli yaitu mitos yang menceritakan awal mula kejadian sesuatu.
Contoh: mitos terjadainya gunung merapi, kejadian binatang tertentu, mitos tentang dewi sri, mitos yang berasal dari malayu disemenanjung malaya, yaitu cerita yang  menerangkan mengapa ditepi-tepi sungai hutan rimba malaya terdapat banyak pohon yang tinggi.
2)      Mitos alam.
Mitos alam adalah cerita yang menceritakan hal-hal yang bersifat alamiah seperti formasi bumi, pergerakan matahari dan bumi, perbintangan, perubahan cuaca, karakteristik binatang, dan lain-lain
3)      Mitos kepahlawanan
Mitos kepahlawanan adalahmitos  yang mengisahkan seorang tokoh yang menjadi pahlawan karena kualifikasi dirinya yang memiliki keajaiban tertentu diluar nalar kemanusiaan
Contoh: kisah hidup nyai roro kidul atau ratu laut selatan, mitos sunan lawu dipuncak gunung lawu
4)      Mitos sejarah
Mitos sejarah adalah mitos yang berhubungan dengan peristiwa sejarah, peristiwa dan tokoh yang benar-benar ada dan terjadi. Jadiia merupakan gabungan mitos dengan tokoh dan peristiwa sejarah
Contoh: mitos sunan lawu merupakan contoh mitos kepahlawanan namun bisa juga dikategorikan mitos sejarah karena memiliki unsur sejarah karena tokoh yang dikisahkan mempunyai kaitan dengan sejarah
b.      Legenda
Cerita magis yang sering dikaitkan dengan tokoh, peristiwa dan tempat-tempat yang nyata.(Mitchell,2003:238).
Jenis legenda:
1)      Legenda tokoh
Cerita legenda yang mengisahkan ketokohan seorang tokoh
Contoh:
a)      Kiisah jaka tingkir
b)      Legenda pangeran samodra
c)      Legenda yang berdasarkan cerita para wali seperti sunan kalijaga, sunan kudus dan lain-lain
d)     Legenda yang berdasarkan kisah raja-raja
2)      Legenda tempat peninggalan
Legenda tempat peninggalan yaitu Cerita yang berkaitan dengan adanyapeninggalan-peninggalan tertentu dan atau asal usul terjadinya sesuatu dan penamaan tempat-tempat tertentu.
Contoh:
a)      Asal usul terjadinya gunung tangkuban prahu
b)      Asal usul terjadinya telaga ngebel
3)      Legenda peristiwa
Legenda peristiwa adalah Peristiwa-peristiwa besar tertentu yang kemudian menjadi legenda karenanya.
Contoh:
a)      Tenggelamnya kapal pesiar supermewah titanic pada wala abad ke-20
b)      Kisah malin kundang dari sumatra barat
c.       Fable atau cerita binatang
Fable atau cerita binatang adalah Salah satu bentuk cerita tradisional yang menampilkan bintang sebagai tokoh cerita
Fabel dibagi dua berdasarkan waktu kemunculannya
1)      Fabel klasik, contohnya: cerita jataka dan pancatantra, putri duyung, pangerab angsa dan lain-lain
2)      Fabel moderen contohnya: keledai yang dungu, gendon kembali kesekolah
d.      Dongeng
Dongeng adalah Salah satu cerita rakyat yang cukup beragam cakupannya, cerita rekaan yang sebenarnya tidak pernah terjadi
Dongeng ada dua yaitu dongeng kasik contohnya bawang merah dan bawang putih, timun emas. Dongeng moderen contohnya harry potter
e.       Cerita wayang
Sebuah warisan budaya nenek moyang yang telah bereksistensi sejak zaman prasejarah. Wayang adalah sebuah wiracarita yang berpakem pada dua karya besar yaitu ramayanan dan mahabrata
Nilai cerita wayang
1)      mencakup dua aspek yaitu dari unsur-unsur cerita wayang dan aspek pementasan
2)      dari unsur cerita wayang dapat dilihat dari aspek ajaran moral yang dikandung, alur cerita dan karakter tokoh
3)      aspek pementasan wayang misalnya yang menyangkut kelir, gedebok pisang, kotak penyimpanan wayang, lampu blencong, anak wayang. Semuanya mempunyai simbolis dan filosofi  terhadap proses kehidupan manusia.
Pelestarian cerita wayang
1)      Dapat diperkenalkan kepada anak-anak indonesia , salah satunya lewat bacaan sastra, artinya cerita wayang dikemas ulang kedalam berbagai genre sastra anak umtuk dijadikan sebagai slah satu bacaan alternatif.
2)      Selain penulisan ulang dan penyediaan buku cerita wayang pelestarian cerita wayang juga daat ditempuh lewat cara cara tradisonal dan alami misalnhya mengisahkan cerita wayang itu kepada anak-anak secara lisan
f.       Nyanyian rakyat
Nyanyian rakyat adalah Salah satu bentuk sasra tradisional yang banyak dikenal dan dinyanyikan hingga kini. Sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional
Contoh nyanyian rakyat:
1)      Nyanyian rakyat sunda
2)      Nyanyian rakyat bali
3)      Nyanyian rakyat bugis
4)      Nyanyian rakyat sasak

B.     Sastra Lisan dan Tulisan

Dalam khazanah kesusastraan Indonesia terdapat dua penggolongan besar sasta, yaitu sastra lisan dan sastra tulisan.
Baik sastra lisan maupun sastra tulisan mempunyai peranan penting dalam sejarah perkembangan kesusastraan indonesia.
1.      Sastra Lisan
Dalam khazanah kesusastraan Melayu kuno tradisi sastra lisan baik syair maupun prosa merupakan kekhasan corak tersendiri yang memiliki relasi lajur sejarah yang cukup panjang. Satu pengaruh tradisi cina yang masuk melalui jalur perdagangan kemudian pengaruh India atau Hindu-Budha yang saat itu merupakan agama yang dianut sebagian besar kerajaan-kerajaan di Indinesia. Ditambah dengan sumbangan kebudayaan Arab-Islam yang dibawa oleh para musafir. Ketiga tradisi yang berbeda-beda tersebut tentunya sangat mewarnai sejarah perkembangan sastra di Indomesia khususnya sastra lisan.
Dalam perjalanannya sastra lisan menemukan tempat dan bentuknya masing-masing di tiap-tiap daerah pada ruang etnik dan suku yang mengusung flok budaya dan adat yang berbeda-beda. Heddy Shri Ahimsya-Putra (1966) mengatakan bahwa sebagai suatu bentuk ekspresi budaya masyarakat pemiliknya, sastra lisan tidak hanya mengandung unsur keindahan (estetik) tetapi juga mengandung berbagai informasi nilai-nilai kebudayaan tradisi yang bersangkutan. Oleh karenanya, sebagai salah satu data budaya sastra lisan dapat dianggap sebagai pintu untuk memahami salah satu atau mungkin keseluruhan unsur kebudayaan yang bersangkutan.
Sastra lisan telah bertahan cukup lama dalam mengiringi sejarah bangsa Indonesia dan menjadi semacam ekspresi estetik tiap-tiap daerah dan suku yang tersebar di seluruh nusantara.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, dalam khazanah kesusastraan modern Indonesia baik dalam ekspresi proses verbal kesastrawanan maupun dalam kajian, sastra tulisan lebih mendimonasi. Hal ini mulai berkembang ketika muncul anggapan bahwa sastra tulis mempunyai nilai yang lebih tinggi dibanding sastra lisan dalam konteks pembangunan kepribadian bangsa yang lebih maju. Ditambah lagi oleh arus modernisasi yang masuk dan membawa corak kebudayaan baru, maka posisi sastra lisan dalam masyarakat mulai pudar bahkan hampir dilupakan.

2.      Sastra Tulisan
Sastra tulisan (written literature)yaitu sastra yang menggunakan media tulisan atau literal. Menurut Sulastin Sutrisno (1985) awal sejarah sastra tulis melayu bisa dirunut sejak abad ke-7 M. Berdasarkan penemuan prasasti bertuliskan huruf Pallawa peninggalan kerajaan Sriwijawa di Kedukan Bukit (683) Talang Tuo (684) Kota Kapur (686) dan Karang Berahi (686). Walaupun tulisan pada prasasti-prasati tersebut masih pendek-pendek, tetapi prasasti-prasasti yang merupakan benda peninggalan sejarah itu dapat disebut sebagai cikal bakal lahirnya tradisi menulis atau sebuah bahasa yang dituangkan dalam bentuk tulisan.
Sastra tulis dianggap sebagai ciri sastra modern karena bahasa tulisan dianggap sebagai refleksi peradaban masyarakat yang lebih maju. Menurut Ayu Sutarto (2004) dan Daniel Dakhidae (1996) tradisi sastra lisan menjadi penghambat bagi kemajuan bangsa. Maka, tradisi lisan harus diubah menjadi tradisi menulis. Karena budaya tulis-menulis selalu identik dengan kemajuan peradaban keilmuan. Pendapat ini mungkin tidak keliru. Tapi, bukan berarti kita dengan begitu saja mengabaikan atau bahkan meninggalkan tradisi sastra lisan yang sudah mengakar dan menjadi identitas kultural masing-masing suku dan daerah di seluruh kepulauan Indonesia.
Pada akhirnya, proses pergeseran dari tradisi sastra lisan menuju sastra tulisan tidak dapat dihindari. Karena sadar atau tidak, bagaimanapun proses pertumbuhan sastra akan mengarah dan berusaha menemukan bentuk yang kebih maju dan lebih sempurna sebagaimana terjadi pada bidang yang lainnya. Karena proses perubahan seperti ini merupakan sebuah keniscayaan terutama dalam struktur masyarakat yang dinamis.
Belum ditemukan data yang pasti, yang menunjukan kapan tepatnya tradisi sastra tulis dimulai. Sastra tulis yang tercarat dalam sejarah kesusastraan Indonesia mungkin bisa dikatakan dimulai sejak sebelum abad ke-20, yaitu pada periode Pujangga Lama. Dan, kemudian mulai menunjukan wujudnya yang lebih nyata pada periode Balai Pustaka yang bisa disebut sebagai tonggak perkembangan sejarah kesusastraan modern Indonesia. Dimana dengan lahirnya penerbit pertama di Indonesia ini, bidang kesusastraan mulai dikembangkan secara lebih terorganisir. Dan, pada periode berikutnya, terus berkembang secara lebih luas.

3.      Kedudukan Sastra Lisan dan Sastra Tulisan
Sejatinya baik sastra lisan maupun tulisan masing-masing mempunyai kedudukan yang sama-sama penting dalam perkembangan sastra di Indonesia. Walaupun pada kenyataannya sastra lisan sering kali dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembanfan zaman. Tapi, seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa sastra lisan mempunyai akar yang berkaitan erat dengan sejarah bangsa Indonedia baik aspek sosio-kultural, moral, religi hingga aspek politik.
Jadi, pada dasarnya dua bentuk sastra ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain sebagaimana dalam konsepsi A. Theeuw (1983) bahwa dari segi sejarah maupun tipologi adalah tidak baik jika dilakukan pemisahan antara sastra lisan dan sastra tulis. Keduanya harus dipandang sebagai kesatuan dan keseluruhan sehingga tidak boleh lebih mengutamakan satu dari pada yang lain. Sebaliknya, dua jenis karya sastra ini seyogianya saling mendukung dan melengkapi untuk lebih memperkaya khazanah kesusastraan bangsa. Karena pada hakikatnya sastra lisan merupakan sumber utama bagi penciptaan sastra tulisan sebagaimana sastra lama merupakan penunjang lahirnya sastra modern.

C.    Kesusasteraan Sunda
Budaya Sunda adalah budaya yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat Sunda. Budaya Sunda dikenal dengan budaya yang sangat menjunjung tinggi sopan santun. Pada umumnya karakter masyarakat Sunda adalah periang, ramah-tamah (someah), murah senyum, lemah-lembut, dan sangat menghormati orangtua. Itulah cermin budaya masyarakat Sunda. Di dalam bahasa Sunda diajarkan bagaimana menggunakan bahasa halus untuk berbicara dengan orang yang lebih tua.


1.      Etos budaya
Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan tertua di Nusantara. Kebudayaan Sunda yang ideal kemudian sering kali dikaitkan sebagai kebudayaan masa Kerajaan Sunda. Ada beberapa ajaran dalam budaya Sunda tentang jalan menuju keutamaan hidup. Etos dan watak Sunda itu adalah cageur, bageur, singer dan pinter, yang dapat diartikan "sembuh" (waras), baik, sehat (kuat), dan cerdas. Kebudayaan Sunda juga merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu di lestarikan. Sistem kepercayaan spiritual tradisional Sunda adalah Sunda Wiwitan yang mengajarkan keselarasan hidup dengan alam. Kini, hampir sebagian besar masyarakat Sunda beragama Islam, namun ada beberapa yang tidak beragama Islam, walaupun berbeda namun pada dasarnya seluruh kehidupan di tujukan untuk kebaikan di alam semesta.

2.      Nilai-nilai budaya
Kebudayaan Sunda memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dari kebudayaan–kebudayaan lain. Secara umum masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda, dikenal sebagai masyarakat yang lembut, religius, dan sangat spiritual. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo silih asih, silih asah dan silih asuh; saling mengasihi (mengutamakan sifat welas asih), saling menyempurnakan atau memperbaiki diri (melalui pendidikan dan berbagi ilmu), dan saling melindungi (saling menjaga keselamatan). Selain itu Sunda juga memiliki sejumlah nilai-nilai lain seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, hormat kepada yang lebih tua, dan menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada kebudayaan Sunda keseimbangan magis di pertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara adat sedangkan keseimbangan sosial masyarakat Sunda melakukan gotong-royong untuk mempertahankannya.

3.      Kebudayaan Suku Sunda
Kebudayaan Sunda merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu dilestarikan. Kebudayaan-kebudayaan tersebut akan dijabarkan sebagai berikut :

a.       Sistem Kepercayaan
Hampir semua orang Sunda beragama Islam. Hanya sebagian kecil yang tidak  beragama Islam, diantaranya orang-orang Baduy yang tinggal di Banten Tetapi juga adayang beragama Katolik, Kristen, Hindu, Budha.Selatan. Praktek-praktek sinkretisme danmistik masih dilakukan. Pada dasarnya seluruh kehidupan orang Sunda ditujukan untuk memelihara keseimbangan alam semesta.Keseimbangan magis dipertahankan dengan upacara-upacara adat, sedangkankeseimbangan sosial dipertahankan dengan kegiatan saling memberi (gotong royong).Hal yang menarik dalam kepercayaan Sunda, adalah lakon pantun Lutung Kasarung,salah satu tokoh budaya mereka, yang percaya adanya Allah yang Tunggal (GuriangTunggal) yang menitiskan sebagian kecil diriNya ke dalam dunia untuk memeliharakehidupan manusia (titisan Allah ini disebut Dewata). Ini mungkin bisa menjadi jembatanuntuk mengkomunikasikan Kabar Baik kepada mereka.
b.      Mata  Pencaharian
Suku Sunda umumnya hidup bercocok tanam. Kebanyakan tidak suka merantau atauhidup berpisah dengan orang-orang sekerabatnya. Kebutuhan orang Sunda terutamaadalah hal meningkatkan taraf hidup. Menurut data dari Bappenas (kliping Desember 1993) di Jawa Barat terdapat 75% desa miskin. Secara umum kemiskinan di Jawa Baratdisebabkan oleh kelangkaan sumber daya manusia. Maka yang dibutuhkan adalah pengembangan sumber daya manusia yang berupa pendidikan, pembinaan, dll.
c.       Kesenian Kirab Helaran
Kirab helaran atau yang disebut sisingaan adalah suatu jenis kesenian tradisional atauseni pertunjukan rakyat yang dilakukan dengan arak-arakan dalam bentuk helaran.Pertunjukannya biasa ditampilkan pada acara khitanan atau acara-acara khusus seperti ;menyambut tamu, hiburan peresmian, kegiatan HUT Kemerdekaan RI dan kegiatan hari-hari besar lainnya. Seperti yang diikuti ratusan orang dari perwakilan seluruh kelurahandi Cimahi, yang berupa arak-arakan yang pernah digelar pada saat Hari Jadi ke-6 KotaCimahi. Kirap ini yang bertolak dari Alun-alun Kota Cimahi menuju kawasanperkantoran Pemkot Cimahi, Jln. Rd. Demang Hardjakusumah itu, diikuti olehkelompok-kelompok masyarakat yang menyajikan seni budaya Sunda, seperti sisingaan,gotong gagak, kendang rampak, calung, engrang, reog, barongsai, dan klub motor.
d.      Wayang   Golek    
Jepang boleh terkenal dengan 'Boneka Jepangnya', maka tanah Sunda terkenal dengankesenian Wayang Golek-nya. Wayang Golek adalah pementasan sandiwara boneka yangterbuat dari kayu dan dimainkan oleh seorang sutradara merangkap pengisi suara yangdisebut Dalang. Seorang Dalang memiliki keahlian dalam menirukan berbagai suaramanusia. Seperti halnya Jaipong, pementasan Wayang Golek diiringi musik Degunglengkap dengan Sindennya. Wayang Golek biasanya dipentaskan pada acara hiburan, pesta pernikahan atau acara lainnya. Waktu pementasannya pun unik, yaitu pada malamhari (biasanya semalam suntuk) dimulai sekitar pukul 20.00 - 21.00 hingga pukul 04.00 pagi. Cerita yang dibawakan berkisar pada pergulatan antara kebaikan dan kejahatan(tokoh baik melawan tokoh jahat). Ceritanya banyak diilhami oleh budaya Hindu dariIndia, seperti Ramayana atau Perang Baratayudha. Tokoh-tokoh dalam cerita mengambilnama-nama dari tanah India.Dalam Wayang Golek, ada 'tokoh' yang sangat dinantikan pementasannya yaitu kelompok yang dinamakan Purnakawan, seperti Dawala dan Cepot.Tokoh-tokoh ini digemari karena mereka merupakan tokoh yang selalu memerankan peran lucu (seperti pelawak) dan sering memancing gelak tawa penonton. SeorangDalang yang pintar akan memainkan tokoh tersebut dengan variasi yang sangat menarik.
e.       Alat Musik 
Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe dari angklung. Berbedadengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalahdengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusunmenurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk  pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yangdibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).  
Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari bambu khusus yangditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938. Ketika awal penggunaannyaangklung masih sebatas kepentingan kesenian local atau tradisional.
4.      Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh suku ini adalah bahasa Sunda. Bahasa Sunda adalah bahasayang diciptakan dan digunakan sebagai alat komunikasi oleh Suku Sunda, dan sebagaialat pengembang serta pendukung kebudayaan Sunda itu sendiri. Selain itu bahasa Sundamerupakan bagian dari budaya yang memberi karakter yang khas sebagai identitas SukuSunda yang merupakan salah satu Suku dari beberapa Suku yang ada di Indonesia.ILMU

5.      Pengetahuan Dan Teknologi
Masalah pendidikan dan teknologi di dalam masyarakat suku Sunda sudah bisadibilang berkembang baik.Ini terlihat dari peran dari pemerintah Jawa Barat. PemerintahJawa Barat memiliki tugas dalam memberikan pelayanan pembangunan pendidikan bagiwarganya, sebagai hak warga yang harus dipenuhi dalam pelayanan pemerintahan. VisiPemerintah Jawa Barat, yakni "Dengan Iman dan Takwa Jawa Barat sebagai ProvinsiTermaju di Indonesia dan Mitra Terdepan Ibukota Negara Tahun 2010" merupakankehendak, harapan, komitmen yang menjadi arah kolektif pemerintah bersama seluruhwarga Jawa Barat dalam mencapai tujuan pembangunannya.Pembangunan pendidikan merupakan salah satu bagian yang sangat vital danfundamental untuk mendukung upaya-upaya pembangunan Jawa Barat di bidang lainnya.Pembangunan pendidikan merupakan dasar bagi pembangunan lainnya, mengingat secarahakiki upaya pembangunan pendidikan adalah membangun potensi manusia yang kelak akan menjadi pelaku pembangunan.Dalam setiap upaya pembangunan, maka penting untuk senantiasa mempertimbangkankarakteristik dan potensi setempat. Dalam konteks ini, masyarakat Jawa Barat yangmayoritas suku Sunda memiliki potensi, budaya dan karakteristik tersendiri. Secarasosiologis-antropologis, falsafah kehidupan masyarakat Jawa Barat yang telah diakuimemiliki makna mendalam adalah cageur, bageur, bener, pinter, tur singer. Dalam kaitanini, filosofi tersebut harus dijadikan pedoman dalam mengimplementasikan setiaprencana pembangunan, termasuk di bidang pendidikan. Cageur mengandung makna sehat jasmani dan rohani. Bageur berperilaku baik, sopan santun, ramah, bertata krama. Bener


UPACARA ADAT PERKAWINAN SUKU SUNDA

Adat Sunda merupakan salah satu pilihan calon mempelai yang ingin merayakan pesta pernikahannya. Khususnya mempelai yang berasal dari Sunda. Adapun rangkaianacaranya dapat dilihat berikut ini. Nendeun Omong, yaitu pembicaraan orang tua atau utusan pihak pria yang berminatmempersunting seorang gadis.Lamaran. Dilaksanakan orang tua calon pengantin beserta keluarga dekat. Disertaiseseorang berusia lanjut sebagai pemimpin upacara. Bawa lamareun atau sirih pinangkomplit, uang, seperangkat pakaian wanita sebagai pameungkeut (pengikat). Cincin tidak mutlak harus dibawa. Jika dibawa, bisanya berupa cincing meneng, melambangkankemantapan dan keabadian.Tunangan. Dilakukan ‘patuker beubeur tameuh’, yaitu penyerahan ikat pinggang warna pelangi atau polos kepada si gadis.Seserahan (3 - 7 hari sebelum pernikahan). Calon pengantin pria membawa uang, pakaian, perabot rumah tangga, perabot dapur, makanan, dan lain-lain. Ngeuyeuk seureuh (opsional, Jika ngeuyeuk seureuh tidak dilakukan, maka seserahandilaksanakan sesaat sebelum akad nikah.)Dipimpin pengeuyeuk.Pengeuyek mewejang kedua calon pengantin agar meminta ijin dan doa restu kepadakedua orang tua serta memberikan nasehat melalui lambang-lambang atau benda yangdisediakan berupa parawanten, pangradinan dan sebagainya.Diiringi lagu kidung oleh pangeuyeuk Disawer beras, agar hidup sejahtera.dikeprak dengan sapu lidi disertai nasehat agar memupuk kasih sayang dan giat bekerja.Membuka kain putih penutup pengeuyeuk. Melambangkan rumah tangga yang akandibina masih bersih dan belum ternoda.Membelah mayang jambe dan buah pinang (oleh calon pengantin pria). Bermakna agar keduanya saling mengasihi dan dapat menyesuaikan diri.Menumbukkan alu ke dalam lumpang sebanyak tiga kali (oleh calon pengantin pria).Membuat lungkun. Dua lembar sirih bertangkai saling dihadapkan. Digulung menjadisatu memanjang. Diikat dengan benang kanteh. Diikuti kedua orang tua dan para tamuyang hadir. Maknanya, agar kelak rejeki yang diperoleh bila berlebihan dapat dibagikankepada saudara dan handai taulan.Berebut uang di bawah tikar sambil disawer. Melambangkan berlomba mencari rejeki dandisayang keluarga.Upacara Prosesi PernikahanPenjemputan calon pengantin pria, oleh utusan dari pihak wanita
Ngabageakeun, ibu calon pengantin wanita menyambut dengan pengalungan bungamelati kepada calon pengantin pria, kemudian diapit oleh kedua orang tua calon pengantin wanita untuk masuk menuju pelaminan.Akad nikah, petugas KUA, para saksi, pengantin pria sudah berada di tempat nikah.Kedua orang tua menjemput pengantin wanita dari kamar, lalu didudukkan di sebelah kiri pengantin pria dan dikerudungi dengan tiung panjang, yang berarti penyatuan dua insanyang masih murni. Kerudung baru dibuka saat kedua mempelai akan menandatanganisurat nikah.Sungkeman,Wejangan, oleh ayah pengantin wanita atau keluarganya.Saweran, kedua pengantin didudukkan di kursi. Sambil penyaweran, pantun sawer dinyanyikan. Pantun berisi petuah utusan orang tua pengantin wanita. Kedua pengantindipayungi payung besar diselingi taburan beras kuning atau kunyit ke atas payung.Meuleum harupat, pengantin wanita menyalakan harupat dengan lilin. Harupat disiram pengantin wanita dengan kendi air. Lantas harupat dipatahkan pengantin pria. Nincak endog, pengantin pria menginjak telur dan elekan sampai pecah. Lantas kakinyadicuci dengan air bunga dan dilap pengantin wanita.Buka pintu. Diawali mengetuk pintu tiga kali. Diadakan tanya jawab dengan pantun bersahutan dari dalam dan luar pintu rumah. Setelah kalimat syahadat dibacakan, pintudibuka. Pengantin masuk menuju pela.
D.    Kesusastraan Jawa
Sastra Jawa merupakan satu di antara sekian banyak kebudayaan yang ada di Indonesia. Sastra Jawapun berbentuk macam-macam. Ada sastra Jawa modern dan ada sastra Jawa Klasik. Sastra Jawa Klasik biasanya menaruh kekuatan keindahannya pada bentuk dan amanat. Sastra Jawa Klasik dibedakan menjadi beberapa bagian, yakni prosa dan puisi.
Namun, karena pada zaman dahulu tidak semua masyarakat Jawa bisa membaca dan menulis, maka sastra Jawa klasik ini lebih cenderung disebarluaskan secara lisan. Sastra jawa yang berbentuk lisan itu sebenarnya adalah prosa yang kemudian diceritakan dalam bentuk dongeng, legenda, atau pepatah. Sementara itu, sastra Jawa yang berbentuk puisi lebih sering dilisankan dalam bentuk pantun Jawa.
Sama halnya dengan di daerah-daerah lainnya, sastra Jawa pun memiliki nilai budaya tersendiri yang mengusung nilai-nilai budaya Jawa. Legenda dan dongeng yang berasal dari tanah Jawa ini dikemas dalam bahasa Jawa, dengan memasukkan unsure-unsur budaya Jawa yang kental.
Sementara itu, sastra Jawa modern merupakan sastra yang hamper sama dengan sastra kotemporer, yakni sastra yang mengusung kisah-kisah modern. Akan tetapi, dalam penyajiannya, tetap menggunakan bahasa jawa serta tetap memasukkan nilai-nilai budaya Jawa yang memang harus dipertahankan.

Macam-macam Bentuk Sastra Jawa Klasik
            Sastra Jawa Klasik memiliki bermacam-macam bentuk, dari mulai dongeng, legenda, mitos, sampai pantun Jawa. Dongeng sendiri merupakan cerita yang tidak benar-benar terjadi, terutama mengenai kejadian pada zaman dahulu kala.
            Dongeng sastra Jawa dibuat dengan tujuan tertentu, yakni memberikan nilai-nilai pelajaran mengenai kehidupan terhadap masyarakat. Karena pada zaman dahulu belum ada media yang tepat untuk menjadi media pembelajaran, maka dongeng sastra Jawa inilah yang dijadikan salah satu modus pembelajaran masyarakat pada zaman dahulu, terutama pada anak-anak.
            Bentuk sastra Jawa selanjutnya adalah legenda. Legenda adalah cerita rakyat pada zaman dahulu yang berhubungan dengan suatu daerah dan merupakan sejarah yang dianggap suci oleh masyarakat setempat, seperti legenda “Banyuwangi” yang bercerita tentang asal-usul kota Banyuwangi.
            Pada zaman dahulu. Sastra jawa Klasik ini dianggap sebagai suatu cara agar masyarakat setempat menghargai alam dan tempat mereka tinggal sehingga muncullah cerita-cerita berbentuk legenda.
            Bentuk Sastra jawa mitos juga hamper mirip dengan legenda. Mitos merupakan cerita mengenai dewa-dewa atau hal yang dianggap agung oleh masyarakat setempat karena mengandung kekuatan gaib. Hanya saja, kebenaran mitos tidak pasti sehingga masyarakat modern meragukan kebenaran mitos Jawa yang dianggap mengada-ada.
            Hingga sekarang semua bentuk sastra Jawa  Klasik tersebut masih ada. Namun, keberadaannya hanya bisa ditemui di buku-buku klasik atau pada masyarakat yang masih menjunjung tinggi adat-istiadat.
            Pada dasarnya, semua bentuk sastra Jawa tersebut tidak terlepas dari pengaruh budaya luar Jawa. Misalnya, budaya Hindu yang membawa pengaruh terhadap terciptanya mitos “dewi padi” sehingga ,masyarakat Jawa apercaya bahwa kemakmuran yang mereka dapat tidak bisa dipisahkan dari keagungan dan kebaikan hati Dewi Padi dalam memberikan pemenuhan kebutuhan akan pangan masyarakat Jawa.
            Akan tetapi, dibalik bentuk sastra jawa yang bermacam-macam itu, tersimpan satu visi dan misi yang sama akan besar dan pentingnya nilai budaya Jawa, yakni nilai leluhur.
            Nilai-nilai kemanusiaan dalan sastra jawa tersebut meliputi saling membantu, saling menghormati dan menghargai, saling percaya terhadap kebaikan, serta nilai-nilai lain yang menjadikan manusia menjalin hubungan yang baik dengan sesamanya.


E.     Kesusastraan Bali


1.      SEJARAH
Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa Sansekerta berarti "Kekuatan", dan "Bali" berarti "Pengorbanan" yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita. Supaya kita selalu siap untuk berkorban. Bali mempunyai 2 pahlawan nasional yang sangat berperan dalam mempertahankan daerahnya yaitu I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Ketut Jelantik.

2.      DESKRIPSI LOKASI
Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil yang beribu kota Denpasar. Tempat-tempat penting lainnya adalah Ubud sebagai pusat seni terletak di Kabupaten Gianyar, sedangkan Kuta, Sanur, Seminyak, dan Nusa Dua adalah beberapa tempat yang menjadi tempat tujuan pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan. Suku bangsa Bali dibagi menjadi 2 yaitu: Bali Aga (penduduk asli Bali biasa tinggal di daerah trunyan), dan Bali Mojopahit (Bali Hindu / keturunan Bali Mojopahit).

3.      UNSUR – UNSUR BUDAYA
a.       BAHASA
Bali sebagian besar menggunakan bahasa Bali dan bahasa Indonesia, sebagian besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga dan bahasa asing utama bagi masyarakat Bali yang dipengaruhi oleh kebutuhan industri pariwisata. Bahasa Bali di bagi menjadi 2 yaitu, bahasa Aga yaitu bahasa Bali yang pengucapannya lebih kasar, dan bahasa Bali Mojopahit.yaitu bahasa yang pengucapannya lebih halus.
b.      PENGETAHUAN
Banjar atau bisa disebut sebagai desa adalah suatu bentuk kesatuan-kesatuan social yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan social tersebut diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara keagamaan. Banjar dikepalahi oleh klian banjar yang bertugas sebagai menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan sosial dan keagamaan,tetapi sering kali juga harus memecahkan soal-soal yang mencakup hukum adat tanah, dan hal-hal yang sifatnya administrasi pemerintahan.
c.       TEKNOLOGI
Masyarakat Bali telah mengenal dan berkembang system pengairan yaitu system subak yang mengatur pengairan dan penanaman di sawah-sawah. Dan mereka juga sudah mengenal arsitektur yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan yang menyerupai bangunan Feng Shui. Arsitektur merupakan ungkapan perlambang komunikatif dan edukatif. Bali juga memiliki senjata tradisional yaitu salah satunya keris. Selain untuk membela diri, menurut kepercayaan bila keris pusaka direndam dalam air putih dapat menyembuhkan orang yang terkena gigitan binatang berbisa.
d.      ORGANISASI SOSIAL
1)      Perkawinan
Penarikan garis keturunan dalam masyarakat Bali adalah mengarah pada patrilineal. System kasta sangat mempengaruhi proses berlangsungnya suatu perkawinan, karena seorang wanita yang kastanya lebih tinggi kawin dengan pria yang kastanya lebih rendah tidak dibenarkan karena terjadi suatu penyimpangan, yaitu akan membuat malu keluarga dan menjatuhkan gengsi seluruh kasta dari anak wanita.
Di beberapa daerah Bali ( tidak semua daerah ), berlaku pula adat penyerahan mas kawin ( petuku luh), tetapi sekarang ini terutama diantara keluarga orang-orang terpelajar, sudah menghilang.
2)      Kekerabatan
Adat menetap diBali sesudah menikah mempengaruhi pergaulan kekerabatan dalam suatu masyarakat. Ada macam 2 adat menetap yang sering berlaku diBali yaitu adat virilokal adalah adat yang membenarkan pengantin baru menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat suami,dan adat neolokal adalah adat yang menentukan pengantin baru tinggal sendiri ditempat kediaman yang baru. Di Bali ada 3 kelompok klen utama (triwangsa) yaitu: Brahmana sebagai pemimpin upacara, Ksatria yaitu : kelompok-klompok khusus seperti arya Kepakisan dan Jaba yaitu sebagai pemimpin keagamaan.
3)      Kemasyarakatan
Desa, suatu kesatuan hidup komunitas masyarakat bali mencakup pada 2 pengertian yaitu : desa adat dan desa dinas (administratif). Keduanya merupakan suatu kesatuan wilayah dalam hubungannya dengan keagamaan atau pun adat istiadat, sedangkan desa dinas adalah kesatuan admistratif. Kegiatan desa adat terpusat pada bidang upacara adat dan keagamaan, sedangkan desa dinas terpusat pada bidang administrasi, pemerintahan dan pembangunan.

4.      MATA PENCAHARIAN
Pada umumnya masyarakat bali bermata pencaharian mayoritas bercocok tanam, pada dataran yang curah hujannya yang cukup baik, pertenakan terutama sapi dan babi sebagai usaha penting dalam masyarakat pedesaan di Bali, baik perikanan darat maupun laut yang merupakan mata pecaharian sambilan, kerajinan meliputi kerajinan pembuatan benda anyaman, patung, kain, ukir-ukiran, percetakaan, pabrik kopi, pabrik rokok, dll. Usaha dalam bidang ini untuk memberikan lapangan pekerjaan pada penduduk. Karena banyak wisatawan yang mengunjungi bali maka timbullah usaha perhotelan, travel, toko kerajinan tangan.

5.      RELIGI
Agama yang di anut oleh sebagian orang Bali adalah agama Hindu sekitar 95%, dari jumlah penduduk Bali, sedangkan sisanya 5% adalah penganut agama Islam, Kristen, Katholik, Budha, dan Kong Hu Cu. Tujuan hidup ajaran Hindu adalah untuk mencapai keseimbangan dan kedamaian hidup lahir dan batin.orang Hindu percaya adanya 1 Tuhan dalam bentuk konsep Trimurti, yaitu wujud Brahmana (sang pencipta), wujud Wisnu (sang pelindung dan pemelihara), serta wujud Siwa (sang perusak). Tempat beribadah dibali disebut pura. Tempat-tempat pemujaan leluhur disebut sangga. Kitab suci agama Hindu adalah weda yang berasal dari India.
Orang yang meninggal dunia pada orang Hindu diadakan upacara Ngaben yang dianggap sanggat penting untuk membebaskan arwah orang yang telah meninggal dunia dari ikatan-ikatan duniawinya menuju surga. Ngaben itu sendiri adalah upacara pembakaran mayat. Hari raya umat agama hindu adalah Nyepi yang pelaksanaannya pada perayaan tahun baru saka pada tanggal 1 dari bulan 10 (kedasa), selain itu ada juga hari raya galungan, kuningan, saras wati, tumpek landep, tumpek uduh, dan siwa ratri.
Pedoman dalam ajaran agama Hindu yakni :
(1).tattwa (filsafat agama),
(2). Etika (susila),
(3).Upacara (yadnya).
Dibali ada 5 macam upacara (panca yadnya), yaitu
(1). Manusia Yadnya yaitu upacara masa kehamilan sampai masa dewasa.
(2). Pitra Yadnya yaitu upacara yang ditujukan kepada roh-roh leluhur.
(3).Dewa Yadnya yaitu upacara yang diadakan di pura / kuil keluarga.
(4).Rsi yadnya yaituupacara dalam rangka pelantikan seorang pendeta.
(5). Bhuta yadnya yaitu upacara untuk roh-roh halus disekitar manusia yang mengganggu manusia.
6.      KESENIAN
Kebudayaan kesenian di bali di golongkan 3 golongan utama yaitu seni rupa misalnya seni lukis, seni patung, seni arsistektur, seni pertunjukan misalnya seni tari, seni sastra, seni drama, seni musik, dan seni audiovisual misalnya seni video dan film.

7.      Nilai-Nilai Budaya
1.      Tata krama : kebiasaan sopan santun yang di sepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia di dalam kelompoknya.
2.      Nguopin : gotong royong.
3.      Ngayah atau ngayang : kerja bakti untuk keperluan agama.
4.      Sopan santun : adat hubungan dalam sopan pergaulan terhadap orang-orang yang berbeda sex.

8.      ASPEK PEMBANGUNAN
Di Bali jenis mata pencahariannya adalah bertani disawah. Mata pencaharian pokok tersebut mulai bergeser pada jenis mata pencaharian non pertanian. Pergeseran ini terjadi karena bahwa pada saat sekarang dengan berkembangnya industri pariwisata di daerah Bali, maka mereka menganggap mulai berkembanglah pula terutama dalam mata pencaharian penduduknya.
Sehingga kebanyakan orang menjual lahannya untuk industri pariwisata yang dirasakan lebih besar dan lebih cepat dinikmati. Pendapatan yang diperoleh saat ini kebanyakan dari mata pencaharian non pertanian, seperti : tukang, sopir, industri, dan kerajinan rumah tangga. Industri kerajinan rumah tangga seperti memimpin usaha selip tepung, selip kelapa, penyosohan beras, usaha bordir atau jahit menjahit.

Sastra di Bali
Seperti kesusastraan umumnya, sastra Bali ada yang diaktualisasikan dalam bentuk lisan (orality) dan bentuk tertulis (literary). Menurut katagori periodisasinya kesusastraan Bali ada yang disebut Sastra Bali Purwa dan Sastra Bali Anyar. Sastra Bali Purwa maksudnya adalah Sastra Bali yang diwarisi secara tradisional dalam bentuk naskah-naskah lama. Sastra Bali Anyar yaitu karya sastra yang diciptakan pada masa masyarakat Bali telah mengalami modernisasi. Ada juga yang menyebut dengan sebutan Sastra Bali Modern.
Sastra Bali sebelum dikenal adanya kertas di Bali, umumnya ditulis di atas daun lontar. Karena ditulis di atas daun lontar, "buku sastra" ini disebut dengan "lontar". Memang ada bentuk tertulis lainnya, seperti prasasti, dengan menggunakan berbagai media seperti batu dan lempengan tembaga, namun tidak terdapat karya Sastra Bali ditulis di atas bilah bambu, kulit binatang, kayu, kulit kayu. Belakangan setelah dikenal kertas, penulis karya sastra Bali menuliskan karyanya di atas kertas, bahkan sudah banyak diketik.
Bahasa yang digunakan untuk menulis Sastra Bali ada tiga jenis yaitu Bahasa Jawa Kuna (Kawi Bali), Bahasa Jawa Tengahan, Bahasa Bali.
Pembagian Kesusastraan Bali
Kesusastraaan Bali itu dapat dibagi menjadi empat yaitu :
  1. Kesusastraan Bali menurut bentuknya
  2. Kesusastraan Bali menurut jaman 
  3. Kesusastraan Bali menurut cara menuturkannya
  4. Kesusastraan Bali menurut bahasanya
Kesusastraan Bali menurut bentuknya dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
  1. Tembang ( puisi )
  2. Gancaran ( prosa )
  3. Palawakia (prosa lirik )
Kesusastraan Bali menurut jaman dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
  1. Kesusastraan Bali Purwa ( tradisional )
  2. Kesusastraan Bali Anyar ( modern )
Kesusastraan Bali menurut cara menuturkannya ada dua jeni yaitu :
  1. Sastra gantian ( sastra lisan,rakyat)
  2. Sastra sesuratan (sastra tulisan )
Kesusastraan Bali menurut bahasanya pada umumnya memakai tembang mecepat dan bahasanya memakai bahasa Bali kepara ( Bali Umum) . tetapi ada pula menggunakan bahasa Bali Kuno ( Kawi ), Tengahan,Sansekerta. adapun bagiannya yaitu :
  1. Lontar Geguritan (  Menggunakan Bahaa Bali kepara pada umumnya )
  2. Kidung (  Menggunakan Bahasa campuran antara bahasa Bali Kuna, bahasa Jawa Tengahan dan bahasa Kawi )
  3. Kekawin ( Menggunakan Bahasa Kawi )
F.     Kesusatraan Sulawesi Selatan
Peta Sastra dan Budaya Sulawesi Selatan saat ini sudah mulai nampak nyata pada permukaan peta sastra Indonesia. hal itu dapat dilihat dari buku-buku yang ditulis oleh penulis-penulis sastra budaya Sulsel, baik yang terbit di Sulawesi selatan, maupun yang terbit di luar Sulawesi Selatan.
Beberapa buku yang ditulis maupun yang dieditori oleh para sastrawan dan ahli sastra kita juga telah meneropong kehadiran sastra Sulawesi Selatan sebagai basis sastra yang perlu diperhitungkan di masa depan. Sebutlah misalnya, “9 Jawaban Sastra” oleh Maman S. Mahayana, telah menyebut-nyebut beberapa nama “generasi muda” penyair Sulawesi Selatan  seperti Aslan Abidin, Muhary Wahyu Nurba, Tri Astoto Kodarie, Tomy Tamara, Badaruddin Amir dll. Juga dalam buku tebal  “Ensiklopedi Sastra Indonesia” susunan Prof. Dr. Hasanuddin WS, telah memasukkan nama-nama penting penyair dan sastrawan muda Sulawesi Selatan, serta buku “Leksikon Kesusastraan Indonesia” yang disusun oleh Korrie Layun Rampan dan diterbitkan oleh Gramedia, telah memasukkan beberapa nama penyair/sastrawan muda Sulawesi Selatan. Hal ini menandakan bahwa dalam peta sastra Indonesia, Sulawesi Selatan tidak lagi hanya menenpati satu titik kecil yang tak terlihat dipermukaan.
Selain dari apa yang dapat diungkap oleh para pengamat sastra kita itu, satu hal yang sangat menggembirakan  serta lebih menegaskan lagi kehadiran Sastrawan Sulsel dalam peta sastra Indonesia adalah terbitnya puluhan buku-buku sastra yang ditulis oleh para penulis Sulsel. Kendati buku-buku tersebut, sebagaimana buku-buku terbitan daerah lainnya, tak dapat merambah seluruh wilayah Indonesia (kecuali beberapa di antaranya), namun telah mempertegas kehadiran penulisnya dalam Peta Sastra Indonesia.


G. Kesusastraan Modern Indonesia
Kehadiran kesusastraan Indonesia saat ini tentu saja mempunyai kesejarahan yang begitu panjang. Boleh jadi kesejarahan tersebut berkaitan dengan banyak hal, semisal masalah sosial, politik, ide kebangsaan, kebahasaan, maupun bentuk formal kesusastraan itu sendiri. Tentu saja faktor-faktor tersebut memengaruhi jawaban menyoal kapan kesusastraan Indonesia atau lebih tepatnya kesusastraan Indonesia modern tersebut lahir. Tentang kapan kelahiran kesusastraan Indonesia modern telah banyak diperbincangkan dan diperdebatkan oleh ahli-ahli kesusastraan Indonesia, bahkan hingga sekarang. Walaupun demikian, seperti ada “kesepakatan” bahwa awal mula kesusastraan Indonesia modern bersamaan dengan kemunculan Balai Pustaka yang didirikan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1917. A. Teeuw dalam karangannya Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru tidak secara tegas menyebutkan awal mula kelahiran kesusastraan Indonesia Baru. Ia hanya memaparkan bahwa pada tahun 1920-an merupakan masa kecil kesusastraan Indonesia modern (1953: 122). Melihat angka tahun yang diungkapkan oleh Teeuw, tentu saja hal tersebut merujuk pada Balai Pustaka dan roman yang pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka yaitu Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar. Teeuw menekankan pada titik tolak “inovasi” dalam kesusastraan yang modern. Inovasi yang dimaksud Teeuw adalah pembaruan-pembaruan yang terdapat dalam karya sastra Modern dan tentu saja yang membedakan dengan yang klasik, misalnya individualitas, bentuk, dan bahasa.
Berbeda dengan Teeuw yang menekankan pada ihwal inovasi, Ajip Rosidi berpendapat lain soal kelahiran kesusastraan Indonesia Modern. Menurut Ajip Rosidi, bahasa dan kesusastraan Indonesia modern lahir akibat pertemuan bahasa dan sastra Melayu dengan paham-paham yang berasal dari kebudayaan Eropa modern (1991: 10). Kebudayaan Eropa modern yang dimaksud oleh Ajip Rosidi adalah semangat nasionalisme. Periode kelahiran kesusastraan Indonesia modern versi Ajip Rosidi tidak berdasarkan pada novel terbitan Balai Pustaka tetapi pada puisi Muh. Yamin yang berjudul “Tanah Air” dalam majalah Jong Sumatra (1922).
Permulaan kesusastraan Indonesia modern versi Umar Junus lebih mengejutkan. Umar Junus menekankan bahwa sastra Indonesia lahir setelah bahasa Indonesia lahir. Dengan demikian Junus mengambil titik Sumpah Pemuda (1928) sebagai titik permulaan kesusastraan Indonesia modern. Sebelum tahun tersebut, karya yang diterbitkan tidak dapat dimasukkan dalam kesusastraan Indonesia melainkan kesusastraan Melayu (1988: 1).
Ketiga pendapat tersebut memberikan gambaran bahwa kelahiran kesusastraan Indonesia modern berkisar antara tahun 1920-an. Dari angka tahun tersebut, barangkali “kesepakatan” bahwa Balai Pustaka merupakan penanda kelahiran kesusastraan Indonesia modern terbentuk. Namun, beberapa pertanyaan kemudian muncul ke permukaan, lalu bagaimana dengan karya-karya sastra yang dipublikasikan sebelum angka tahun tersebut? Apakah karya-karya tersebut termasuk khazanah kesusastraan Indonesia modern? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita tilik sebentar apa itu Balai Pustaka.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Balai Pustaka seringkali dianggap sebagai penanda awal mula kesusastraan Indonesia modern. Balai Pustaka sendiri dibentuk oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1917 (Teeuw, 1953: 119; Eneste, 1988: 6; Rosidi, 1991: 16). Sebelum bernama Balai Pustaka, lembaga ini dahulunya bernama Commissie voor de Inlandsche School em Volkslectuur(Komisi Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) yang didirikan pada tanggal 14 September 1908 (Teeuw, 1955: 119). Tujuan Balai Pustaka adalah “mengadakan sjarat ‘batjaan yang bersifat membangun’ dengan tjorak ‘membentuk budi pekerti’ atau ‘membawa ketjerdasan’ (ibid: 122). Selain itu pula, bahasa yang digunakan dalam terbitan Balai Pustaka adalah bahasa Melayu Tinggi—bahasa Melayu yang sesuai dengan ejaan yang disusun oleh Van Ophuysen (Samuel, 2008: 146). Dengan demikian, tentulah tujuan utama Balai Pustaka adalah melakukan sensor terhadap bacaan yang layak bagi pribumi di Hindia Belanda—layak dalam hal isi juga layak dalam hal bahasa.
Pembentukan Commissie voor de Inlandsche School em Volkslectuur yang kemudian berubah menjadi Balai Pustaka tentulah tanpa sebab. Dengan melihat tujuannya saja, kita dapat berasumsi bahwa sebelum terbentuknya Commissie voor de Inlandsche School em Volkslectuur telah muncul fenomena sosial yang menyebabkan kemunculan komisi bacaan tersebut. Fenomena sosial yang pertama adalah masalah pendidikan. Pada awal abad ke-20, sebagian pribumi mampu membaca dan telah mendapatkan pendidikan dasar di sekolah. Oleh sebab itu, kebutuhan bacaan begitu tinggi bagi pribumi sedangkan penerbit swasta telah banyak didirikan dan banyak pula menerbitkan buku cerita terutama penerbit yang didirikan oleh peranakan Tionghoa. Banyaknya terbitan dari pihak swasta itulah yang menyebabkan pemerintah kolonial membentuk komisi bacaan guna menentukan mana bacaan yang “baik” dan mana bacaan yang “liar” (Damono, 2011: 13). Fenomena sosial lainnya adalah pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 perkembangan surat kabar di Hindia Belanda begitu pesat. Sama halnya dengan penerbitan, persuratkabaran tersebut juga banyak dikelola oleh peranakan Tionghoa, Indo-Belanda, dan Pribumi. Di dalam surat kabar tersebut juga terdapat sisipan cerita bersambung yang kemudian dicetak dalam buku oleh penerbit-penerbit swasta. Surat-surat kabar tersebut di antaranya adalah Bianglala, Bintang Betawi, Medan Prijaji, Sin Po, Taman Sari, Warna Warta, dsb. Surat kabar tersebut menggunakan bahasa Melayu perhubungan yang dalam istilah pemerintah kolonial disebut sebagai bahasa Melayu Rendah.
Gambaran umum tersebut setidaknya mengilustrasikan bahwa sebelum terbentuknya Balai Pustaka terdapat karya sastra yang dimuat dalam beberapa surat kabar. Hal ini dibuktikan dalam beberapa penelitian tentang karya sastra sebelum perang dan lebih khususnya sebelum Balai Pustaka. Claudine Salmon mencatat pada tahun 1886 terdapat syair iklan yang berjudul “Sair dari adanja Boekoe Tjerita Tjina njang soeda disalin bahasa Melajoe”. Syair tersebut ditulis oleh Ting Sam Sien (2010: 62). Sapardi Djoko Damono juga menemukan puisi yang dimuat dalam majalah Bianglala pada tahun 1870 yang berjudul “Amin” ditulis oleh A.D (2004: 17). Selain Claudine Salmon dan Sapardi Djoko Damono, Ibnu Wahyudi dalam penelitiannya mencatat bahwa pada tahun 1893, A. Rogensburg telah menerbitkan novel yang berjudul Hikajat Roh Manoesia yang diterbitkan oleh t.n.p. (1988: 90).
Temuan-temuan tersebut setidaknya mewarnai khazanah kesusastraan Indonesia modern. Sekalipun temuan-temuan tersebut tidak dimasukkan dalam kesusastraan Indonesia modern, toh pada akhirnya pembentukan Balai Pustaka bertujuan untuk menyensor bacaan-bacaan yang beredar. Dengan demikian pembentukan Balai Pustaka secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh peredaran-peredaran karya sastra sebelum Balai Pustaka. Jika karya sastra terbitan Balai Pustaka dianggap sebagai tonggak kesusastraan Indonesia modern, pemicunya pun harusnya juga dimasukkan dalam khazanah kesusastraan Indonesia modern.
Permasalahan yang ditimbulkan sebenarnya berada pada kata “modern” yang membedakan dengan yang “klasik”. Tentunya kita harus bersikap arif dengan kata “modern”. Pengertian kata “modern” yang ditekankan oleh Sapardi Djoko Damono setidaknya melenturkan makna kata tersebut. Sapardi menggarisbawahi kata “modern” dengan pengertian telah digunakannya aksara latin dan disebarluaskannya dalam bentuk tercetak juga tidak secara langsung berkaitan dengan pandangan hidup atau sikap hidup yang tersirat atau tersurat di dalamnya (1999: 15). Dengan demikian, perbedaan tradisi literal di Indonesia antara yang “klasik” dan yang “modern” pun kentara. Jika tradisi literal “klasik” ditulis dalam aksara jawi maupun aksara daerah lainnya dan disebarkan dalam bentuk salinan (tulisan tangan) terbatas, tradisi literal “modern” ditulis dalam aksara latin dan disebarluaskan dalam bentuk cetakan. Dengan demikian pula, kita dapat melihat permulaan kesusastraan Indonesia modern baik bentuk maupun isinya alih-alih hanya melihat isinya saja

H. Kesusastraan Indonesia dan Media Massa
Prosa Indonesia telah berkembang sedemikian rupa mencari bentuknya. Dengan dukungan sarana publikasi media massa cetak, prosa bersama dengan puisi dan kritik sastra dan seni tumbuh subur dalam kehidupan sastra. Dari hari ke hari kian muncul sejumlah karya baru dan penulis baru. Disertai dengan capaian-capaian yang memperkaya keberadaan sastra kita. Sastra seakan mengukuhkan diri sebagai sebuah lini dari seni dan budaya yang mendapatkan tempat penting di tengah-tengah masyarakat. Sesuatu yang telah dilontarkan oleh Sartre dalam What is Literature? (1986), karena keunikan sastra dalam mengolah berbagai emosi dan keberterimaannya dalam masyarakat luas, terutama karena peran bahasa sebagai media utamanya. Dalam waktu belakangan, banyak lahir dan hadir penulis muda yang memiliki karakter tersendiri dalam karya-karya sastranya. Setelah kepergian sejumlah sastrawan berkelas dan berkarakter seperti Umar Kayam, AA Navis, Kuntowijoyo, hingga Pramoedya Ananta Toer, dobrakan penting dalam sastra sangat ditunggu. Inilah mungkin masa-masa kesedihan sekaligus harapan akan lahirnya sastrawan yang akan membawa dan mengenalkan budaya bangsa pada dunia. Dengan wilayah eksplorasi yang berbeda, mereka menjadi pelanjut kehidupan sastra kita. Setiap masa selalu melahirkan sejarahnya sendiri. Demikian juga dengan sejarah sastra (Indonesia). Setiap periode memiliki nama dan gaya pengucapan tersendiri, yang merupakan hasil dari pergaulan antara sastra Indonesia dengan sastra dunia, antara sastra dengan disiplin yang lain, sastra dan realitas sosial, dan pergaulan berbagai wacana dan sejarah sastra itu sendiri.
Cerpen, Novel, dan Media Massa Cerpen dan novel masih menjadi karya yang mendapatkan tempat di tengah-tengah pembaca kita. Cerpen memiliki tempat khusus di koran-koran dan majalah. Sekian puluh, atau ratus, cerpen lahir dari tangan para cerpenis setiap minggu. Sebagiannya berhasil masuk dalam rubrik koran dan majalah, dan sebagian lebih besar harus berpuas diri untuk didiamkan atau masuk dalam barisan antri. Demikian juga halnya dengan sayembara cerpen yang berhasil menghimpun banyak karya.Kehadiran cerpen di ruang-ruang koran merupakan bentuk fasilitasi yang menarik, dengan penyandingan antara fakta dan fiksi. Dengan menghadapi koran, pembaca dibiasakan untuk berhadapan dengan fakta dan berita. Resepsi yang disiapkan oleh pembaca membuat redaktur budaya bersiasat untuk menghadirkan cerpen dengan cara sedemikian rupa. Tak lepas dari itu adalah kecenderungan cerpen di koran yang harus beriringan dengan peristiwa yang ada di dalamnya. Di tengah-tengah kondisi seperti ini, kebebasan eksperimentatif dan eksploratif estetik cerpenis terus ditantang. Berbagai cara dilakukan, baik yang berhubungan dengan tema, peristiwa, maupun bahasa.

 
 

DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 1999. “Awal Perkembangan Sastra Modern di Indonesia: Kasus Sastra Melayu dan Jawa” dalam Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus.
___________________. 2004. Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaa. Bandung: Remaja Rosada Karya.
___________________. 2011. “Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan” dalam makalah kuliah umum di Komunitas Salihara pada tanggal 21 September 2011.
Eneste, Pamusuk. 1988. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Penerbit Jambatan.
Rosidi, Ajip. 1991. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.
Salmon, Claudine. 2010. “Awal Kesusastraan Melayu-Tionghoa Dicerminkan oleh Sebuah Syair Iklan Tahun 1886” dalam Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa. Jakarta: KPG.
Samuel, Jerome. 2008. Kasus Ajaib Bahasa Indonesia?: Pemodernan Kosakata dan Politik Peristilahan.Jakarta: KPG.
Teeuw, A. 1953. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru. Jakarta: Yayasan Pembangunan.
________.1994. “Hamzah Fansuri Sang Pemula Puisi Indonesia” dalam Indonesia: Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wahyudi, Ibnu. 1988. “Perkembangan Novel Indonesia Sebelum Balai Pustaka”/ Laporan penelitian. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia

1 komentar:

  1. Casino in CT - DRMCD
    Play games 여주 출장마사지 in CT! Slots, 나주 출장마사지 blackjack, poker, slots, table games, keno, 안양 출장마사지 roulette, and more! Casino is also home 남양주 출장샵 to many fantastic table 원주 출장안마 games and live

    BalasHapus